29.7.09

MERAPI (bias luka)

perisai malam selalu tusukkan perih
saat kucoba meraih ujung jalan mu untuk mencumbu api pada puncakmu yang beku
ini malam kekasih... ingatlah itu
sebab kau selalu bicara tentang matahari yang tak pernah bosan torehkan lara
sabarlah... tak ada jalan yang tak berakhir...
rembulan? jangan dulu kau tanyakan itu
lebih baik kita bicarakan saja tentang tujuan...

merayapi runcing batu ini seakan membawa kembali jiwaku yang telah lama pergi
aku benar-benar rindu kisah ini...
sayang kau tak sempat menemaniku
tak apa... setidaknya aku masih sempat melihat bayangmu di balik bias malam
sedang menulis sesuatu tentang perjalananku ini...
lanjutkan saja, jika memang itu yang kau inginkan
aku akan tetap mencumbu batu-batu ini
agar dapat kutorehkan pula namamu pada geliat malam yang semakin membeku

pagi...
mencoba untuk kembali menyusun bayang mu yang semalam sempat tercecer
terasa semakin dekat...
tak sabar aku untuk mengejarmu di atas langit itu
merah yang kian membiru...
kau menungguku... kulihat itu...
duduk tersenyum diatas kokohnya batu puncak garuda
aku akan segera datang...
tunggulah... sebentar lagi kita akan menulis kisah bersama...
pada bias luka...

26.7.09

Terima Kasih Kau Selalu Menungguku

terima kasih kau telah sabar menungguku
setelah lelah ku berjalan melintasi mimpi demi mimpi
mencoba mencari jejak hujan yang sedari dulu selalu tinggalkan perih
sebab ingin kumaki matahari yang tak pernah mampu keringkan lukaku
hanya rembulan.... yang selalu sanggup biaskan duka

malam... tak pernah usai taburkan sunyi
tak pernah lelah nyanyikan beku
selalu...hanya itu...
karena aku masih terjebak...
masih... di sini...
berdiri... meragu...

aku selalu takut pada lelap
sebab kau tak pernah mendatangiku dalam tidurku
sungguh aku merindu...
tapi bukan itu... kau yang selalu di sini tapi tak pernah untukku
selalu ragu... sebab luka itu...
tak pernah kering...

mungkin kau telah mulai mengerti
mengapa aku tak pernah mampu untuk tancapkan tongkat
sebab masa lalu selalu menghantuiku
pun juga masa depan yang terlalu mengerikan untuk di hadapi
bukan meragu padamu...
tapi pada diriku...
selalu...
kuharap kau mampu untuk tetap mengerti
kau akan selalu mampu untuk meraih rembulan
tapi bukan aku...
mungkin...
semoga tidak...

terima kasih kau selalu menungguku
tapi ada mu masih dalam bayang maya

15.7.09

Jangan Meratap. Karena Dia Tuli Dan Buta

Aku mencoba lagi untuk menatap matamu
Sungguh bukanlah sebuah tusukan yang menyakitkan
Sebab sempat kulihat rembulan sembunyi disana
Dan kau pun sempat mengakuinya
Meskipun hanya melalui tamparan yang sampai sekarang masih tersisa bekasnya
Kau katakan padaku bahwa aku telah membunuh satu musim
Dan itu membuatmu kehilangan kesempatan untuk merapatkan kesempatan
Tak akan mungkin kita berhenti pada satu titik
Dan kau pun mulai memaki
"Coba saja seandainya kau hidup sekarang!!!"
"Mulutmu takkan mungkin mampu lontarkan kesombongan itu"
Dan kau pun menangis
Entah menangisi siapa atau apa
Sementara deru kehidupan semakin dekat mencumbu kematian
Adaku karena aku dan aku akan menyadarinya
Bukan kau, bukan pula dia...
Dasar pelacur!!!! Malam pun kau rayu untuk menjadi siang
Sayap-sayapmu beraroma alkohol
Dan malaikat itu pun terbang entah kemana
Semua nama kini tak ada bedanya
Dosa dan pahala pun lebur mengepul menjelma asap mariyuana
Sayang... Mari kita segera pergi
Sebab tempat ini penuh kemunafikan...

Catatan Kecil Sebelum Kencing

Kau mendorong, kau mendesak, kau meronta
memintaku segera membuka gerbang untuk membebaskanmu
Kau katakan padaku bahwa aku terlalu lama menjeratmu dalam kebohongan
Dan semakin lama semakin membuatmu jijik untuk menjadi bagian dari diriku
Kau telah memutuskan bahwa kau harus segera memulai perjalanan baru
Sebuah dunia baru yang menjanjikan kebebasan
Pada pikiranmu dan juga kebusukanmu
Kau tersenyum melihatku meringis kesakitan
"dasar bodoh!!! kenapa tidak segera kau lakukan saja!!!"
Begitu katamu nyaring di telingaku
Baiklah jika kau ingin melawanku
Sekali ini aku akan mencobanya
Siapa tahu ada masalah baru yang harus kita pecahkan bersama
Aku bukan pencari masalah
Tapi aku akan lebih bahagia jika menemukan masalah
Karena itu membuatmu lebih dekat denganku
Dan aku akan merasa bahagia
Apa yang telah kukatakan...?
Terlalu banyak basa-basi yang kita lontarkan
Sudahlah... Lebih baik aku ke toilet sekarang

Rembulan di Sudut Senyuman

Mungkin aku akan kembali tersesat
Ketika langkah mulai ragu pada persimpangan
Tak satu pun petunjuk itu mampu ku baca
Yang kulihat hanya rembulan sembunyi di sudut senyummu
Tapi itu pun masih kuragukan
Benarkah itu rembulan kemarin
Atau hanya bayang maya kisah silam

Semakin kutunggu, rasa sakit ini semakin menjadi
Luka yang sengaja kutoreh sendiri
Ketika kucoba menempatkan rembulan padamu
Sungguh sebuah kepahitan yang indah
Dan mungkin kau tak tahu apa yang terjadi padaku

Aku tak yakin sekuat apa ku mampu bertahan
Meski ribuan puisi kucoba bangun bentengi langkah-langkah
Kuharap kau tak pernah membacanya
Sebab ku tak ingin kau ikut merasa sakit
Dan biarkan saja bayang rembulan tetap di sana
Tetap terpatri di sudut senyummu
Dan aku cukup melukiskan saja dalam mimpi
Meski kadang ku harus kembali kehilangan jiwaku

10.7.09

Catatan Dari Lereng Lawu

kau melumat senyum mencoba membakar keringnya udara pagi...
menjejakkan harapan pada tiap jengkal perjalanan
tapak demi tapak tak kunjung usai uraikan makna
pada beku, pada kabut, pada matahari...
masih merangkai persoalan demi persoalan yang coba mereka tumpahkan bersama
di sini....

aku tertegun melihat hamparan tak pernah usai itu
di sana pernah ku toreh kisah tentang dirimu
masih belum berubah
hanya cerita yang selalu berubah
sebab bukan hanya aku yang telah selesai mencumbu beku batu itu
di sini....

selanjutnya akan kurunut kembali kisah pada puncak
di sana aku selalu menemukan dirimu...

5.7.09

Himpitan Hari-Hari 5

; Senyum Beku - Pulang

Aku sudah kembali
Kuharap kau merindukanku
Meski dengan segala umpatan dan makian
Tapi itulah yang sebenarnya kuharapkan
Bukan sekedar kemolekan tubuhmu
Dan busuk nafas karena arak

Asal kau tahu...
Sesungguhnya aku tak bisa jauh darimu
Tiap kali kucoba untuk lari
Selalu saja langkahku akan kembali padamu
Aku tak menyesalinya...
Sebab mungkin ini takdir
(atau mungkin kutukan)
Asal kita percaya itu sudah cukup
Kuharap kau juga setuju denganku

Lupakan saja kisah kemarin
Mari kita coba melukis matahari
Agar dapat menghangatkan senyummu yang beku
Tak perlu berharap lagi datangnya rembulan
Karena rembulan itu sudah direbut mimpi anak-anak kecil

Lalu bagaimana dengan himpitan hari-hari itu...???
Apa kau juga masih memikirkannya...?
Bagiku sudah larut bersama keringat yang tumpah saat aku mengejarmu
Tapi apapun yang kau rasakan
Aku selalu bersedia untuk berbagi rasa
Setidaknya aku masih punya air mata...

Himpitan Hari-Hari 4

; Secangkir Kopi di Ujung Pagi

Ketika ku bangun kulihat kau membuka pintu ruangan ini
Lalu menata kembali lembaran-lembaran yang telah kuacak-acak semalam
Kau tidak bicara, dan aku pun enggan menyapa
Tapi sorot matamu mengatakan bahwa kau telah membunuh rembulan semalam
Aku tak peduli, toh aku telah menemukan beberapa bintang di seberang mimpiku
Kini tinggal bisa atau tidak aku menjaring bintang-bintang itu

Kau tawarkan kopi, tapi aku enggan meminumnya
Sebab mulutku masih busuk karena arak semalam
Tubuhku pun masih malas bergerak
Aku hanya ingin duduk dan diam beberapa saat
Lalu membakar rokok dan segera ke kamar mandi
di sana akan kucoba menyusun kembali kisah semalam
Paling tidak saat aku bersamamu memaki tirai langit

Sejenak aku berfikir, apakah hari ini aku akan kembali terjebak di pelataran waktu...
Tapi jika aku tidak melangkah, maka selesai sudah kisah ini
Sesungguhnya aku tak ingin terkekang dalam khayalan
Tapi tak ada yang dapat kulakukan
Selain berjalan dan terus berjalan
Meskipun tak pernah ada tujuan yang benar-benar pasti

Apa sebaiknya aku akhiri saja?
Tapi bingkai-bingkai masih tenggelam di dasar kolam
Meskipun kosong, tanpa secoret pun warna di dalamnya
Atau aku mulai lagi dengan kisah baru?
Meskipun cerita sebelumnya belum selesai
Tapi, bukankah akhir cerita tidaklah terlalu penting??
(paling tidak menurutku)
Baiklah... aku turuti saja kemauanmu
Aku masih punya sisa-sisa kertas
Mungkin kau juga ingin ikut bercerita...
Atau lebih baik kita pulang saja...

Himpitan Hari-Hari 3

; Merajut Mimpi

Sebenarnya aku ingin melanjutkan cerita ini
Tapi aku sudah terlanjur kelelahan
Dan mata ini benar-benar telah rubuh oleh kantuk
Sebab telah kususuri setiap sudut kota
Sekedar mencari ketenangan
Dan menangkap rembulan yang sedari tadi sembunyi

Akhirnya jalan terakhir pun kutempuh
Kembali ke awal aku mengenal dirimu
Tetapi ini pun tidak terlalu buruk
Sebab aku bisa menjalin kilas balik
Pada kisah yang telah kita ciptakan bersama
Pula dapat kuingat kembali sketsa wajahmu
Yang hampir kabur terhapus kembaraku

Kudapati ruangan ini masih seperti dulu
Setidaknya warna cat yang tidak berubah
Dan beberapa coretanku di dinding bagian dalam
Masih dengan sombong berteriak melawan murkamu
Engkau benar-benar masih sabar menunggu
(dan akhirnya aku pulang juga)

Kau tanyakan kabar... Mungkin sekedar basa-basi
Lalu menyambutku dengan pelukan hangat... (meski menyakitkan)
Aku katakan saja bahwa aku ingin istirahat
Sebab rembulan yang kucari tak juga kutemukan
Mungkin ikut terbuang di tempat sampah
Saat aku ingin membuang lembar-lembar basi
Yang ingin ku tulis cerita tapi tak jadi

Tak perlu banyak bicara
Aku sudah terlalu boros dengan kata-kata
Ingin segera ku bungkam khayalanku
Dan segera merebah lupakan hari ini
Lalu bangun pagi-pagi dan minum kopi
Maukah kau menemaniku?

Himpitan Hari-Hari 2

; Sketsa Malam

Padahal lampu itu telah benar-benar menyala sempurna
Rokok di kantongku pun kini tinggal sebatang
Tapi sisa malam masih sejauh pandang
Dan aku masih terus menghitung butir bintang yang tak tampak
Derai tawa rembulan menghina seruku yang bungkam
Malam ini tak ada hujan...
Biarlah... Sebab tak kuharap segera berlalu
Meski beku... lagi-lagi beku yang kurasa
Memang inilah yang bisa
sudahlah... Lepaskan saja topi dan jaketmu
Kita duduk bersama dan berbagi rasa
Pada segelas arak dan sebatang rokok
Lalu segera beradu tawa di sela boulevard
Sambil berfikir tentang alasan
Alasan apapun, pada apapun, atau siapapun...
Sebenarnya kita telah jauh melangkah
Dan setumpuk kertas takkan cukup menceritakan
Karena itu aku takkan mengingat
Cukuplah merasakan atau segera memutuskan
Seperti menyusun mozaik di jendela langit
Jika tak mampu menyelesaikan, hentikan saja sampai di sini
Dan aku akan segera pulang dan menangis di pangkuan ibuku
Tertawalah, karena aku sudah kehabisan tenaga
Takkan ku protes karena itu keinginanmu
Dan lihatlah malaikat di atas sana juga ikut tersenyum
Tentang hari esok janganlah kau cemaskan
Aku masih punya beberapa rupiah untuk membeli rokok

Setelah kita selesai dengan apapun yang terjadi
Mari bersama-sama kita membakar malam
Agar bintang di atas sana segera menyingkir
Dan menyisakan tempat untuk berbaring
Akan kubiarkan kau terlelap lebih dulu
Sebab aku masih ingin melukis malam
Pada kanvas hitam dengan tinta hitam pula
Karena memang sesungguhnya tak ada apapun untuk melukis dan dilukis
Baiklah... lanjutkan saja
Sekarang tak ada apapun yang menghalangi
Dan aku siap membungkus kisah ini
Ke dalam tas yang selalu kubawa kemanapun aku pergi...

Himpitan Hari-Hari 1

; Siluet Senja

Sejak kapan kau jadi orang yang pendiam
Hari ini kita bertemu, itu sudah cukup
Bicaralah... Meskipun hanya sepatah kata...
Dan bayangan di balik cakrawala itu akan segera menyingkir
Aku sudah berada di sini...
Dan aku takkan pergi lagi
Mari kita mengarungi malam
Tanpa penghianatan di balik cumbuan tangismu

Kau bilang di sini saja?
Baiklah, aku akan menemanimu
Sampai bosan kau memikirkan langkah kita
Takkan ada cahaya matahari...percayalah...
Hanya sepotong rembulan dan beberapa butir bintang

Kenapa harus takut?
Bukankah kita hanya sekedar menjalani
Tak ada pintu yang tak bisa dibuka
Aku akan segera membawamu pergi
Ke puncak gedung itu
Di atas sana kita akan memulai sebuah cerita

Jika kau masih ragu, aku takkan memaksa
Hari masih senja, dan kau masih bisa memikirkan kembali
Apa kita akan mencoba kisah baru
Atau cukup dengan himpitan hari-hari lalu
Tapi sepasang bayangan mulai tampak
Dibalik tipis awan tersorot cahaya rembulan
Siluet senja baru saja menawarkan angan
Pada kita yang saat ini sedang mencoba
Mencoba...? Kata itu tampaknya akan sangat bermakna
Mari kita ingat bersama...
Tapi sebelumnya hendaklah kita sadari
Bahwa waktu kita hanya semalam
Dan kita belum mulai melangkah...

Sebuah Catatan Kaki

(pada dinginnya pagi)

Untuk ke sekian kalinya kukirimkan puisi untukmu
Tapi kali ini kusertakan jasadku yang membeku
Sebab dulu dan kini...
Selalu sebongkah es kau balaskan padaku
Mengutuk hari-hari...
Karena kecurangannya memanjakan kencing di ujung pagi

Kemeritik bara rokok memecah keheningan ruang
Anganku memburu sisa-sisa pembantaian
Di dasar lubang klosed...

Pelan dan sayup alunan "Paint the Sky With Stars" milik Enya membangkitkan kecemburuan pada sesosok perempuan
Perempuan itu...
Dia yang biasa menampar imajinasiku dengan lukisan bintang-bintangnya...
Selalu mencuri anganku untuk diasingkan di ujung bukit
"Lihatlah bintang-bintang itu...!!" teriaknya

Sebuah catatan kaki di pagi hari
Ternyata cukup menyesatkan arah mimpiku
Hingga di batas angan tiba-tiba...
Tiit-tiit tiit-tiit.... Seseorang mengirim SMS...

Dendam

Dari kejauhan kudengar kau berteriak
Memaki dan menghujat kedatanganku
Tapi aku kini benar-benar tak peduli
Dengan amarah ataupun kebencianmu padaku
Aku masih saja melangkah
Mencoba untuk kembali meruntut sejarah
Pada rumah dan jalan pulang

Dulu aku memang seorang pecundang
Hanya mampu lari meninggalkanmu dalam derap derita
Karena aku memang benar-benar telah bosan
Setiap hari hanya memenggal kepala-kepala
Juga menyirami bunga-bunga yang kau tanam... dengan darah
Aku sendiri juga ingin menguliti bangkai itu!!!
Tapi kau lebih dulu telah membakarnya dengan sorot matamu

Kini kulihat kau telah mengacungkan golok itu padaku
Mengancam untuk memenggal kepalaku
Tapi aku tetap tidak akan menghentikan langkahku
Sebab rembulan malam ini telah sempurna melebarkan senyumnya
Dan tanah yang kujejak pun semakin mengeras

Ketika ku sampai segera kutumbukkan mataku pada sorot matamu
Hingga kau benar-benar tak mampu bergerak...
Lolongan marahmu kini benar-benar telah tercekat
Dan segera kuhamburkan segala pelukku
Padamu yang baru saja kutanami sebutir peluru tepat di antara kedua matamu

3.7.09

Ini Bukan Malam yang Kejam

Baru saja kau katakan padaku
Bahwa malam ini kau enggan menari
Sebab hujan malas untuk menumpahkan teriaknya
Hingga aku harus kembali sendirian
Untuk mengangkat rembulan dari bawah kakimu

Lalu kembali kau bisikkan ke lubang telingaku
Jika gelas itu kembali terisi
Maka kau akan segera mengencingi mataku
Entahlah, aku sendiri juga tak ingin membantah
Ketika sebatang rokok kau selipkan diantara jarimu
Lalu aku kembali menganyam sisa-sisa sinar rembulan
Yang tertinggal di balik bajumu yang kumal itu

Masih adakah anggapan bahwa kau tak pernah mengenalku?
Jangan kau tanya siapa yang menberikan korek api ini
sebab hal itu tidak terlalu penting
kau cukup menemaniku menghitung bintang-bintang
Sampai habis sadarku dan habis pula sadarmu
Lalu bersama-sama kita letakkan di atas meja kaca
Yang telah kau tumpahi dengan racun tikus...

Aku takkan pergi dari sini
Dan kuharap kau sudi menulis puisi untukku
Aku benar-benar telah rindu untuk kau maki
Jangan bilang bahwa kau telah kehabisan kata-kata
Sebab baru saja kutemukan khayalan di balik celana dalammu

Baiklah jika memang kau ingin cerita
Aku akan setia mendengarnya
Lalu akan kupeluk dan kuciumi matamu
Dan setelah itu aku akan segera melemparmu keluar

Jangan dulu berhenti
Waktu kita masih panjang untuk bercumbu
Dan aku masih ingin menggambar sketsa wajahmu
Pada selembar kain yang penuh noda darah...

Lagu Tanpa Akhir

Bagaimana mungkin dapat kubuka pintu yang lain
Jika sekarang kau masih menahanku di sini
Dan kulihat kau tetap menari di kamar mandi

Masih wajarkah bersabar
Ketika meja ini penuh kertas berserakan
Semuanya berisi puisi yang tak pernah selesai

Aku takkan meninggalkanmu
Tapi setidaknya ijinkan aku memotong rumput di halaman
Agar dapat kita tanami dengan bunga
Kini kau malah menjeratku dengan teriakmu
Tahukah kau bahwa aku benar-benar telah bosan dengan lagu ini...
Lagu yang tak pernah ada akhirnya...

Satu Lagi

Kucoba kembali merajut langkah
Yang beberapa hari kemarin terhenti oleh kebisuan detik-detik
Tapi lagi-lagi sebongkah khayalan melemparku dari kerumunan kata-kata
Memaksa untuk menjawab tanya yang belum pernah terucap

Mungkin ini yang disebut keterpakuan
Ketika aku tersesat di antara asap rokok yang mengepul dari moncong bibirku
Mungkinkah Tuhan akan datang ketika kita dalam kesendirian?
Tapi aku belum ingin bertemu dengan-Nya
Sebab aku belum mampu membeli baju bagus dan minyak wangi

Lantas apa yang hendak kulakukan sekarang?
Apa aku harus kembali membenamkan mukaku di atas bantal...
Mata ini telah letih dengan kebetahan tidur
Lebih baik aku kembali membakar rokok dan menyeduh secangkir kopi...
Lalu mencoba menulis puisi...

Jika Ini Adalah Akhir

Kembali ingin kujaring rembulan
Ketika kurasa hidup semakin renta
Meski penjara rasa telah mengekang nurani
Dan kau akan segera berkata :
“Hai… bukankah aroma tanah basah begitu merindukan…?”

Lalu bisik mentari mengeja perjalanan
Perawan suci tak lagi torehkan pilu pada geliat zaman
Namun bukankah retakan telah mengukir kisah…
Obituari malam tak kunjung usai
Mari kita sandarkan tongkat dan segera menari

Kulihat kau di sana sedang termenung
Melihat awan yang tak mau bergerak
Lalu mengambil selembar daun untuk kau tulisi sebuah puisi
Ketika kucoba menyapa, kau malah tertawa
”Jangan kau bicarakan kisah percintaan kita…
Sebab aku sudah terlanjur menulis puisi”

Aku masih tak habis pikir
Mengapa ceritamu dulu tak pernah kau selesaikan
Sedangkan aku telah siapkan medan pertempuran
Untuk tumpahkan segala rindu

Kini aku hanya bias membaca senyummu
Tanpa bias merasakan hangatnya
Aku tak tahu…
Apakah aku harus menyesal…

Sekali lagi aku kembali terlempar

Memang bukan yang pertama..
Tapi sakit yang dulu sudah terlanjur terlupa
Aku kembali terlempar

Menghujam...Kejam...

Tertinggal...Jauh....

Kau tertawa...Gila...

Aku meradang...
Tak sanggup memandang...
Dan rembulan merayap...Pekat...

Tak ada jalan...
Semua terhempas menjadi butiran mimpi..
Aku lupa menulis...
Sudah terlanjur...
Maaf...

Harus kuhadapi...
Sanggupkah...
Kini harus kulalui malam-malam dengan cumbuan bimbang...

"kembali melacurkan senyum"

1.7.09

Aku Rindu Menari Sendiri

sedikit tersentak ketika mendengar itu
bukan karena kabar yang kudengar
karena memang telah lama aku menduga
tapi karena memikirkan gerakan berikutnya

aku merasa tak sanggup lagi menari
yang sebelumnya kau anggap tak cukup indah bagimu
entah memang aku sungguh tak bisa menari
atau karena kau masih terhimpit beban gerak-gerak
atau mungkin...
kau terlalu takut aku akan menguasai semua tarianmu...

masih bimbang....

agak takut....

mencari...

belum kutemukan...

semoga rembulanku mengerti gerak patahku
karena ku butuh dia untuk menuntun gerakanku...
selanjutnya...

kucari lagi...

pening...

lebih baik aku tak usah berfikir...
karena pikiran ini menghujam dengan tajam
menusuk penuh dendam...

lebih baik mencumbu rembulan saja
karena inilah satu-satunya pengobat sakit
penawar pahit...

tentang tarian...
mungkin lebih baik kuciptakan sendiri saja
entah kapan...