; dalam laju mimpi
Lelaki tak bernama mencoba menghitung mimpi
Dalam pekat rembulan di sudut penghampiran
Dalam ruang tak berbatas di antara tatapan tajam para pemuja ketiadaan
Di bawah perlindungan sebuah alibi
Bahwa inilah realita yang harus dihadapi bersama
Bahwa inilah wajah sebuah kota religius
Tak kunjung usai membangun peradaban
Di atas pondasi firman-firman
Dan semua ini adalah alasan sebuah pemakluman
Tak pernah menuai lelah nafasmu memburu
Pada kepalsuan sejarah kerajaan masa lalu
Kejayaannya yang hampir tak bersisa
Masih sempat dicuri kepentingan demi kepentingan
Hanya sisa aura yang masih sanggup warnakan cerah
Hanya itulah yang masih bisa berikan nafas
Mungkin sekarang saatnya lantunkan kembali kidung kinasih
Pada tiap sisi dan sudut peradaban
Agar tak lagi terus melangkah dalam mimpi
Dan lelaki linglung itu segera dapatkan panggilan
Mungkin…
Tapi kapan…?
Akankah terwujud jika hingga saat ini
Kita masih saja asyik nongkrong
Sembari bermain gitar nyanyikan lagu mimpi
Sudah saatnya kita bangun dan menjerat rembulan
30.6.09
29.6.09
MUNGKIN
Masih mungkin...
Selalu masih mungkin
menjadikan sesuatu dengan mungkin
melakukan sesuatu dengan mungkin
karena mungkin kita akan selalu melihat sesuatu dengan mungkin
masih dengan mungkin...
Kita merasa bahwa setiap keadaan adalah mungkin
bukankah kita masih disini?
Menjejak tanah dan melukis air
dengan mungkin...Atau tak mungkin?
Tapi disana kau masih saja memikirkanku
dengan mungkin...
Ada atau tiada
Sudahlah...
Mungkin ini hanya kebetulan
sebab daun dedepan jendela itu telah mengering
mungkin...Aku takkan pernah bertemu denganmu
sebab mungkin, aku takkan pernah menulisi daun itu
dengan segala kemungkinan
tapi masih bolehkah berharap?
Untuk tetap memegang teralis yang berkarat ini
sebab hari ini masih ada mungkin
sebelum besok atau lusa atau seterusnya
kita kehilangan kemungkinan...
Selalu masih mungkin
menjadikan sesuatu dengan mungkin
melakukan sesuatu dengan mungkin
karena mungkin kita akan selalu melihat sesuatu dengan mungkin
masih dengan mungkin...
Kita merasa bahwa setiap keadaan adalah mungkin
bukankah kita masih disini?
Menjejak tanah dan melukis air
dengan mungkin...Atau tak mungkin?
Tapi disana kau masih saja memikirkanku
dengan mungkin...
Ada atau tiada
Sudahlah...
Mungkin ini hanya kebetulan
sebab daun dedepan jendela itu telah mengering
mungkin...Aku takkan pernah bertemu denganmu
sebab mungkin, aku takkan pernah menulisi daun itu
dengan segala kemungkinan
tapi masih bolehkah berharap?
Untuk tetap memegang teralis yang berkarat ini
sebab hari ini masih ada mungkin
sebelum besok atau lusa atau seterusnya
kita kehilangan kemungkinan...
Senandung Rembulan
; Tak Pernah Lelah
Bicaralah padaku, aku takkan kemana-mana
Dan bidadari di atas sana yang telah letih menari akan segera tersenyum
Kau telah merapatkan tubuhmu pada geliat cahayanya
Dan aku masih ragu pada pandanganku sendiri
Sebab beribu langkah telah terajut
Hanya sekedar untuk melukis sketsa malam
Namun senandung rindu tak juga temukan bayang masa silam
Selanjutnya kau berbisik;
Sayang aku tak pernah sempat membaca mimpimu
Karna aku selalu terlelap lebih dulu sebelum terselimut rembulan; hampa
Pada malam yang tak pernah lelah uraikan pedih
Kembali kau senandungkan mantra penakluk sukma
Dan hanya cahaya redup menerobos ruang renjana
Sejenak kutengadahkan kepala dan hanya sekilas… maya
Seakan aku kembali terjebak pada senandung rembulan
Sungguh tak pernah lelah bayangmu mengejar ku
Bicaralah padaku, aku takkan kemana-mana
Dan bidadari di atas sana yang telah letih menari akan segera tersenyum
Kau telah merapatkan tubuhmu pada geliat cahayanya
Dan aku masih ragu pada pandanganku sendiri
Sebab beribu langkah telah terajut
Hanya sekedar untuk melukis sketsa malam
Namun senandung rindu tak juga temukan bayang masa silam
Selanjutnya kau berbisik;
“Sempurnakan hasrat dan nada akan tersusun.
Kau dan aku hanya domba tersesat.
Maka lebih baik kita nyanyikan saja…”
Kau dan aku hanya domba tersesat.
Maka lebih baik kita nyanyikan saja…”
Sayang aku tak pernah sempat membaca mimpimu
Karna aku selalu terlelap lebih dulu sebelum terselimut rembulan; hampa
Pada malam yang tak pernah lelah uraikan pedih
Kembali kau senandungkan mantra penakluk sukma
Dan hanya cahaya redup menerobos ruang renjana
Sejenak kutengadahkan kepala dan hanya sekilas… maya
Seakan aku kembali terjebak pada senandung rembulan
Sungguh tak pernah lelah bayangmu mengejar ku
TERJAGA
Kembali kuberpijak pada kenyatan
Setelah terjaga dari mimpi panjang
Ternyata masih sama seperti yang dulu
Tanpa sedikit pun rasa terungkap
Pada teriak parau kekejaman masa lalu
Ketika sukma tertusuk perihnya sinar rembulan
Lalu dimana kau sekarang…
Sedikit pun tak kutemui geliat tawamu yang biasa hangatkan malamku
Meski wangimu masih tertinggal di alas tidurku
Tapi aku masih tak mampu temukan bayangmu
Datanglah dan aku akan bercerita tentang mimpi-mimpiku
Mungkin suatu saat nanti kau akan mengingatnya di sisa hidupmu
Hampir kuhabiskan detik demi detik
Tak juga kumampu tuntaskan kata demi kata
Mungkin tak kan sampai padamu yang kini entah dimana
Hingga mulai kuragu pada kesadaraku sendiri
Kini kumulai mencoba mengingat kembali siapa aku
Atau mungkin juga aku masih bermimpi…
Setelah terjaga dari mimpi panjang
Ternyata masih sama seperti yang dulu
Tanpa sedikit pun rasa terungkap
Pada teriak parau kekejaman masa lalu
Ketika sukma tertusuk perihnya sinar rembulan
Lalu dimana kau sekarang…
Sedikit pun tak kutemui geliat tawamu yang biasa hangatkan malamku
Meski wangimu masih tertinggal di alas tidurku
Tapi aku masih tak mampu temukan bayangmu
Datanglah dan aku akan bercerita tentang mimpi-mimpiku
Mungkin suatu saat nanti kau akan mengingatnya di sisa hidupmu
Hampir kuhabiskan detik demi detik
Tak juga kumampu tuntaskan kata demi kata
Mungkin tak kan sampai padamu yang kini entah dimana
Hingga mulai kuragu pada kesadaraku sendiri
Kini kumulai mencoba mengingat kembali siapa aku
Atau mungkin juga aku masih bermimpi…
Jangan Tanyakan
Pada suram senja,
mentari pun mampu torehkan indah dengan cakrawala
Begitu juga pada beku malam,
Rembulan pun tak pernah lelah damaikan mimpi
Lantas pernahkah tersirat alasan?
Oleh mentari… pun rembulan…?
seperti juga saat ini
Ketika gejolak murka kuasai nurani
Kau mampu sejukkan hari-hari dengan senyum merekah
Melibas batas jurang usia
Runtuhkan pagar pemisah gelora
Tak juga mentari… pun rembulan…
Tak pernah terlintas satu pun alasan
Sebab memang…
Cinta tak membutuhkan alasan
mentari pun mampu torehkan indah dengan cakrawala
Begitu juga pada beku malam,
Rembulan pun tak pernah lelah damaikan mimpi
Lantas pernahkah tersirat alasan?
Oleh mentari… pun rembulan…?
seperti juga saat ini
Ketika gejolak murka kuasai nurani
Kau mampu sejukkan hari-hari dengan senyum merekah
Melibas batas jurang usia
Runtuhkan pagar pemisah gelora
Tak juga mentari… pun rembulan…
Tak pernah terlintas satu pun alasan
Sebab memang…
Cinta tak membutuhkan alasan
Langkah Baru
Terjebak di antara pekat malam
Seperti kembali menyelami masa lalu
Saat tapakku begitu sunyi menghentak
Meski keras, tak pernah kesunyian meretak
Ingin ku segera memeluk mimpi
Namun perkataan selalu selubungi bayangan
Kau kembali hadir…
Terus melintas dan menyergap seperti déjà vu
Dan aku tak tahu lagi harus berlari kemana
Semua tempat yang ku datangi selalu ukirkan pedih
Semakin lama, jalan ini semakin sempit
Dan sepasang kaki ini juga telah letih
Apa sekarang saatnya berhenti?
Baiklah aku tak kan mungkin sembunyi
Mungkin sekaranglah saatnya ku lepas sepatu
Dan segera mencuci tapak kakiku
Seperti kembali menyelami masa lalu
Saat tapakku begitu sunyi menghentak
Meski keras, tak pernah kesunyian meretak
Ingin ku segera memeluk mimpi
Namun perkataan selalu selubungi bayangan
Kau kembali hadir…
Terus melintas dan menyergap seperti déjà vu
Dan aku tak tahu lagi harus berlari kemana
Semua tempat yang ku datangi selalu ukirkan pedih
Semakin lama, jalan ini semakin sempit
Dan sepasang kaki ini juga telah letih
Apa sekarang saatnya berhenti?
Baiklah aku tak kan mungkin sembunyi
Mungkin sekaranglah saatnya ku lepas sepatu
Dan segera mencuci tapak kakiku
Puncak
Kuletakkan segala ngilu di ujung jalanmu
Meski beku tak juga menyingkir dari letih raga
Aku ingin terlelap, meski sejenak
Sekedar melupakan sajak-sajak yang berjejalan di dalam kepala
Namun tak juga membias biru itu
Aku tak tahu…
Apa harus ku toreh merah…
Meskipun darah ini juga ikut membeku
Aku masih tak ingin beranjak
Sebab hanya semburat ini berikan damai
Aku masih ingin mencumbu puncakmu
Meski jiwa rapuhku harus meradang
Meski beku tak juga menyingkir dari letih raga
Aku ingin terlelap, meski sejenak
Sekedar melupakan sajak-sajak yang berjejalan di dalam kepala
Namun tak juga membias biru itu
Aku tak tahu…
Apa harus ku toreh merah…
Meskipun darah ini juga ikut membeku
Aku masih tak ingin beranjak
Sebab hanya semburat ini berikan damai
Aku masih ingin mencumbu puncakmu
Meski jiwa rapuhku harus meradang
Lelah 2
Merapatkan beku pada kehangatan tungku
Tak ada harapan mampu kujerang
Sudahkah usai perjalanan melelahkan ini…?
Ketika aku sampai pada ranjang peraduan
Namun kesunyian kembali menyergap
Menghajar lelahku pada pandang maya
Sungguh aku ingin istirahat
Meski kisah lalu belum juga usai
Tak ada harapan mampu kujerang
Sudahkah usai perjalanan melelahkan ini…?
Ketika aku sampai pada ranjang peraduan
Namun kesunyian kembali menyergap
Menghajar lelahku pada pandang maya
Sungguh aku ingin istirahat
Meski kisah lalu belum juga usai
Lelah 1
Sebongkah nestapa kembali bebani perjalanan
Menghajar sukma yang hendak berlari
Tak ada kedengkian yang ingin kunyalakan
Sekedar mencumbui sejuk embun-embun dan geliat ilalang menari
Menghajar sukma yang hendak berlari
Tak ada kedengkian yang ingin kunyalakan
Sekedar mencumbui sejuk embun-embun dan geliat ilalang menari
Menghitung Sunyi
Menghitung langkah…
Tak ada jejak yang pernah terukir di sini
Kuharap…
Lelah…
Se-lelah jiwaku lukiskan semburat mentari di telapak kakimu
Selalu halimun merapat pekat pada rapuh asa
Hari ini benar-benar tak ada kata-kata
Ketika sketsa wajahmu kembali menyeruak di antara gumpalan kenangan
Sungguh aku tak pernah rela kehilangan rembulan…
Tak ada jejak yang pernah terukir di sini
Kuharap…
Lelah…
Se-lelah jiwaku lukiskan semburat mentari di telapak kakimu
Selalu halimun merapat pekat pada rapuh asa
Hari ini benar-benar tak ada kata-kata
Ketika sketsa wajahmu kembali menyeruak di antara gumpalan kenangan
Sungguh aku tak pernah rela kehilangan rembulan…
5.6.09
2.6.09
profile
Penulis blog ini punya nama asli Henry Be-Es...
Hanya seorang manusia biasa yang mencoba mengungkapkan diri, perasaan, keinginan, hasrat, kesedihan dan amarah melalui kata-kata... Mungkin bukan hal yang luar biasa, tapi setidaknya inilah aku yang selalu mencoba dan berusaha untuk menjadi diri sendiri dan menjadi manusia yang hidup dengan memberikan makna bagi orang lain...
Lahir di Demak, Jawa Tengah, 01 Desember 1982
Pernah mengenyam bangku kuliah di Fakultas Sastra, Undip, Jurusan Sastra Indonesia, tapi tidak lulus...Bukan sebuah kebanggaan, tapi bukan pula sebuah penyesalan...
banyak hal yang saya minati... tapi yang paling utama adalah belajar, berpetualang dan fotografi..
Tidak banyak yang bisa saya ceritakan tentang diri saya, karena saya bukan seseorang yang istimewa...
email :
-loopdreamer@gmail.com
telp/whatsapp :
-08562653833
Hanya seorang manusia biasa yang mencoba mengungkapkan diri, perasaan, keinginan, hasrat, kesedihan dan amarah melalui kata-kata... Mungkin bukan hal yang luar biasa, tapi setidaknya inilah aku yang selalu mencoba dan berusaha untuk menjadi diri sendiri dan menjadi manusia yang hidup dengan memberikan makna bagi orang lain...
Lahir di Demak, Jawa Tengah, 01 Desember 1982
Pernah mengenyam bangku kuliah di Fakultas Sastra, Undip, Jurusan Sastra Indonesia, tapi tidak lulus...Bukan sebuah kebanggaan, tapi bukan pula sebuah penyesalan...
banyak hal yang saya minati... tapi yang paling utama adalah belajar, berpetualang dan fotografi..
Tidak banyak yang bisa saya ceritakan tentang diri saya, karena saya bukan seseorang yang istimewa...
email :
-loopdreamer@gmail.com
telp/whatsapp :
-08562653833
Langganan:
Postingan (Atom)