31.8.09

There's No Remained

I feel frozen dancing between days rug
when I start hope with angry scream
and in blurred I saw time shadow ago appear between trot out
still with memories slow motion counts one after another faces without sin
longer incising smarting in trip palm
now return me trapped in empty word resemble dream
not can i am awaken although your screams solve quiet
really i am not authority again to holding back…

what want I dreaming also more illusion
in wriggle hindrance struggle more huddle
warriors that tired now can’t moving again
they tired with empty fantasy. no more fluctuation
now my soul lost groans to ask cemetery
but one span even also there is no remained to I cultivate again new seed
is that regret…? then what is this…?
because days now not again leave over space

may be now moment it I must be borned to return
in new world more foreign
leave conflict remainder in step yesterday
may be time has come other warrior has taked over my character
although with smarting I must carry a sword stab in the heart of hope
but at least I incise colour
I hope they know that still a lot not yet seen
although sometimes look at illusion cheats inner

29.8.09

DUEL

(sebuah cerpen)
Sunyi… Sesunyi mata pedang bisu menusuk dada kedua lelaki yang terkapar di sudut dunianya masingmasing. Tak ada teriak tak ada tangis. Hanya isak rintik hujan yang sejak senja tadi masih setia menyusun helaihalai alunan pertikaian. Tanah memerah, air memerah, laut memerah… darah. Taka ada yang tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Secepat kilat, pedang berdenting karena pertemuannya dengan jenisnya. Seritmis hujan, ayunan kematian bertautan. Dan secepat itu pula sunyi… tak ada tangis, tak ada teriak. Sesunyi mata pedang yang bisu pada aliran darah.



Aroma tanah basah masih sangat menyengat ketika seorang pria dan anak lelakinya merajut langkah menyusuri ruas jalan setapak yang masih becek karena hujan semalam. Burungburung enggan berkicau sebab dingin pagi ini benarbenar menusuk. Bias mentari malumalu di sela rimbun dedaun yang masih basah oleh butirbutir jernih sisa hujan semalam. Pgi ini benarbenar sunyi, tak ada satupun manusia selain ayah dan anak itu yang melakukan aktifitas. Orangorang lebih memilih bermalasmalasan di tempat tidur atau duduk bengong di depan perapian. Tegap langkah kedua lelaki itu memecah kesunyian, menyusuri ruasruas jalan di pinggiran belantara. Tak ada yang bicara. Tak satu pun kalimat yang mampu menterjemahkan raut mka mereka. Tapi seolah mereka bercakap, lewat diam, lewat batin, sesekali mereka beradu pandang, saling bertanya melalui sorot mata. Langkah mereka semakin cepat ketika mereka sampai di bibir hutan dan berhenti di bawah pohon gaharu yang batangnya sangat besar.
“Apa kita sudah sampai?”
“Ya… di sinilah tempatnya”
Mereka kembali bercakapcakap lewat diam
Setelah berdiri mematung selama beberapa menit, entah berdoa atau membaca mantra, sang ayah mulai menggaruk, menggali dengan penuh semangat, hingga tak memperdulikan ketika beberapa kuku jarinya terlepas dan mengalir darah segar dari ujung jarinya. Sanga anak masih diam. Dia berdiri termangu tanpa berkata apapun. Dia hanya memperhatikan kelakuan ayahnya yang sejak beberapa jam yang lalu menggarukgaruk dan menggali tanah di bawah pohon gaharu raksasa itu.
Ayahnya seperti mencari sesuatu. Sesuatu yang sangat penting. Sangat penting bagi ayahnya, atau mngkin bagi mereka berdua, bahkan seluruh keluarganya.
Hampir tengah hari, dan mentari telah benarbenar menumpahkan jerangnya. Panas, sepanas kepala pria yang sejak pagi masih buta tadi menggali tanah di bibir hutan ini, tapi belum menemukan apapun. Dia kelihatan sangat letih, dan bersitan putus asa mulai terlihat dari garis wajahnya. Tapi dia belum berhenti, dia masih menggali. Dan sang anak masih terpaku dalam diamnya. Dia masih saja bertanyatanya tentang apa yang sedang dilakukan oleh ayahnya.
Tepat tengah hari ketika pria itu tibatiba menghentikan penggaliannya. Dia berdiri tegap memandang langit, matanya nyalang, tajam menusuk gumpalan awan. Lalu dia tertawa, terbahak, keras, semakin keras. Lalu dia diam, memandangi anaknya denganpandangan harimau. Tapi sang anak tetap diam tak bergeming.
“Aku sudah selesai anakku… Ternyata takdir ini memang harus terjadi.”
Lalu pria itu mengambil sesuatu dari tanah yang digalinya. Sebilah pedang, tajam mengkilap, kejam menghunus.
“Ingatlah baikbaik tempat ini anakku, sebab hanya dua kali dalam hidupmu kau akan dipanggil kemari. Seperti juga aku dan para leluhur kita.”
Lalu mereka berdua bergegas meninggalkan tempat itu.

***

Senja menelan mentari, memaksa pungguk untuk terjaga, dan malam mulai merayapi langit. Malam yang cerah, namun sunyi, seakan tersihir mantra kematian. Aroma dupa dan wangi kembang kematian menyebar, menyelubungi bibir hutan, jalanjalan, pucukpucuk ranting.
Dalam sekelebatan mata, sosok manusia berjalan. Pelan, tanpa suara. Dia menuju pinggiran hutan yang pagi tadi didatangi dua orang ayah dan anaknya. Dia berjalan pelan tanpa ekspresi, tak ada marah, tak ada sedih, tak ada tawa. Pada setiap langkahnya meninggalkan aroma dupa dan kembang kematian. Membungkam setiap mulut mahluk malam yang menghuni sudutsudut hutan. Bahkan lolong serigala pun tercekat bisu.
“Tampaknya dia sudah kemari” Gumamnya seperti menebak sesuatu
“Dan takdir harus di jawab”
Malam semakin larut dan mencekam ketika sosok lelaki itu sampai di bibir hutan. Tanpa bicara, tanpa hembusan, dia menghilang di bibir hutan itu. Hanya kilatan kecil cahaya yang mengiringi menghilangnya sosok lelaki itu. Seketika itu pula aroma dupa dan wangi kembang kematian sirna. Dan mulutmulut malam kini tak lagi terbungkam.

***

Awan menggulung, menggumpalkan kemarahan. Menghitam mengelam. Gelegar halilintar memecah hening, mengisyaratkan tantangan. Titiktitik hujan menghujam, membasahi setiap jengkal belantara. Dingin menyergap, beku, sebeku bongkahan hati jiwajiwa pendendam. Desau angina menusuk pengakuan, pada nasib, pada takdir. Hawa peperangan, ini hawa peperangan, dan harus dihirup, dirasakan, ditelan. Gelegar halilintar kembali bertalu, bersahutan, bagaikan riuh kendang pertempuran di medan pengakhiran. Setiap Tanya harus di jawab, setiap pemberian harus diterima, dan setiap takdir harus dijalani. Inilah saatnya, inilah waktunya untuk melanjutkan apa yang telah digariskan, dua pedang harus bertemu, dua nyawa harus melayang. Sejak kapan? Sampai kapan? Bukan permusuhan, sebab tak ada yang tahu siapa dan siapa. Tak ada kata sapaan antara siapa dan siapa. Tak ada pertemuan sebelumnya. Hanya pedang dan kematian yang mempertemukan mereka. Di satu tempat, di satu waktu, pada setiap generasi. Petir sebagai tanda, angina sebagai undangan, hujan sebagai pengiring, pada setiap kematian yang harus dijalani, dan ini harus terjadi.

***

Di sudut ruangan, seorang lelaki tegap berdiri. Dia menghitung waktu. Pedang telah disandang. Meneriakkan tantangan, haus sayatan, lapar darah. Dia berdiri mematung, mulutnya rapat terkatup, matanya tajam memandangi cermin. Dia mengingat sesuatu, untuk sesuatu. Bukan gentar yang dirasa, bukan pula takut, sebab dia tahu apa yang sedang terjadi. Lelaki itu hendak meninggalkan sesuatu, satu kata, tapi mulutnya tercekat, tak boleh mengucapkan kata itu, sebab tak ada gunanya, dia harus menjalani, demikian pula anak, cucu, dan generasigenerasi berikutnya. Sebab inilah takdir mereka, pada saatnya nanti.
Seorang anak memasuki ruangan, menghampiri ayahnya. Dia terheran dengan apa yang sedang dilakukan ayahnya.
“Ayah hendak kemana? Kenapa bawa pedang? Bukankah jaman sekarang orang lebih suka membunuh pakai pistol? Karena lebih cepat dan tidak menyakitkan…”
Ayahnya masih diam, tak bergeming. Dia masih memandangi cermin
“Apa ayah nanti tidak akan pulang lagi?”
“Anakku, apa kau merasa takut jika nanti ayah tidak pulang?”
Anak itu diam, bingung dengan pertanyaan ayahnya.
“Aku tahu, kau tidak pernah merasakan takut, kau mewarisi darahku, darah nenek moyang kita, darah pejuang, jiwa petarung sejati…”
“Jangan pernah menangis, sebab tangis haram bagi seorang petarung.”
Dia lalu mengajak anaknya duduk di ranjang. Dia bercerita kepada anaknya tentang peperangan, tentang pertarungan satu lawan satu dan harus di akhiri dengan kematian di kedua belah pihak. Hingga tak terasa malam telah larut dan anaknya telah terlena dalam lelapnya.
“Inilah saatnya, petir itu tandanya dan hembusan ini adalah teriak tantangan.”
Lelaki itu beranjak, mencium kening anaknya dan meninggalkan ruangan itu. Dia keluar berjalan menyusuri ruasruas jalansetapak, menuju satu tempat dimana telah ditentukan akhir dari semua tanya.
Langit semakin mengelam, petir semakin menggelegar bersahutan dengan denting suara pedang yang bertautan. Hembusan angina semakin kencang, menjelma badai, keras, semakin keras, tak ada teriak, tak ada tangis. Rintik hujan menjadi alunan pertarungan. Malam membeku, namun ganas membawa kematian. Petir semakin keras menggelegar, membahana di seluruh penjuru. Angina menjelma badai, mengguncang sisi jiwa pedang bertautan mencipta percikpercik kematian dan seketika sunyi. Semua berhenti, semua membisu, sebisu mata pedang yang kejam menusuk dada kedua lelaki yang terkapar di sudut dunianya masingmasing. Tak ada teriak, tak ada tangis. Tanah memerah, air memerah, sungai memerah, laut memerah, darah… tak ada tangis, tak ada teriak. Sesunyi mata pedang yang bisu pada aliran darah.
“Ingatlah baikbaik, sebab hanya dua kali dalam hidupmu kau akan dipanggil kemari… Saat kau mencabut pedang dari dada musuhmu, dan saat dadamu tertancap pedang milik musuhmu”

28.8.09

Korek Api dan Lalulalang Manusia Pagi

Mesin menderu
Satusatu Melintas
Orangorang pagi
Mengisi hari

Melintas dingin merapat asa
Mereka...
Memiliki jalanjalan kota
Masingmasing membagi
Sebagian bersih sebagian kotor
Sebagian rapi sebagian kusut
Sebagian wangi sebagian busuk
Sebagian jujur sebagian (besar) curang
Satusatu melintas
Menyerbu pagi
Untuk selesai
Di akhir waktu

Pagipagi dingin
Tapi tangantangan itu selalu terik
Pagipagi sepi
Tapi wajahwajah itu selalu riuh
Terdiam adalah sebuah pengalihan
Pada matamata memandang sebatang korek api
Kesepian....

Ronta

Lelah mentari merapat pada garis senja
Membangun merah pada sudut hari
Debur ombak dan cericit camar meningkahi laju sampan nelayan
Untuk merengkuh segala mimpi pada luas samudra

Kau...
Yang sejak dulu tak pernah keluh pada diam
Kini mulai meronta pada rangket nasib
Memaksa sampanmu terombangambing
Meski langit masih terjebak pada cerah musim

Kau teriak, kau melawan
Mencoba melempar segala asa dari rekat jejakmu
Melajukan sampan pada pulau tak berarah
Hingga karang menghempaskan segala amarah
Kau terlempar melompati takdir yang takkan tertulis
Dan aku...
Terpaksa melepas baju zirahku

27.8.09

Selembar Kertas Kosong

Saat ini hanya terlintas kekosongan dalam otak. Mungkin terlalu lelah setelah berpacu dengan segala keinginan dan ambisi untuk menguasai. Namun hanya kekecewaan yang kini menguasai batin dan membawa torehan luka yang mendalam ketika terlampui oleh bias pertikaian. Sungguh… seolah berusaha menolak takdir. Dengan dalih merasa sanggup merubah keadaan menjadi serba mungkin. Sejenak terfikir “bahwa kita hanya manusia”. Lantas jika kita manusia maka apa harus membatasi keinginan meraih langit? Tapi mengapa harus terkekang dengan segala cambuk malam yang mengusir bintangbintang untuk menari. Seharusnya biarkan saja seperti apa adanya. Namun “ada” ini justru menarik khayalan menjadikannya nyata. Lalu satusatu memisahkan diri dari diri. Mencoba membuat sendiri segala keinginan yang belum terwujud. Sungguh bagaikan selembar kertas kosong yang selalu menjadi kosong. Meski telah kutoreh berbagai coretan dan makian tapi tetap kosong…

Sepintas terfikir ingin bertanya mengapa… Sebab kupikir segala pasti ada sebab. Termasuk kosong. Namun pasti tak ada jawab sebab pasti akan kau sodorkan kosong untuk menutup kosong pada ruang otak kosong. Malang… memang sungguh malang perjalanan waktu di samping ku ini. Sebab selalu kusangkal keberadaannya untuk mengiringi langkahku. Aku tak ingin terbatas oleh pagar waktu. Selalu kusangkal dan kusangkal. Namun Akhirnya ragaku sendiri yang mengalahkan keangkuhanku untuk menyangkal sang waktu… Mengapa Tuhan harus memberi karunia rasa lelah, sementara aku masih merasa kekurangan waktu untuk mengisi segala keangkuhan dalam otakku…
Aku masih selalu merasa seperti kertas kosong … Aku masih selalu merasa tak tahu dan tak mampu melalukan sesuatu… Aku masih selalu merasa tak bisa… Aku masih selalu bodoh…


26.8.09

Kotak Kosong dan Sehelai Ilalang

Menari-nari disela lintasan gelap memekat mimpimimpi
Biarlah seperti adanya… kata sudut pilu itu kepada malam
Tak pernah berharap karena telah temaram matamata
Sehelai rindu memandang ruang tak pernah terbatas
Terduduk… pada pengakuan bisu seorang terluka
Sekali lagi…

Hanya pekatpekat yang terlintas pada benakbenak
Mereka meratap… Entah pada siapa
Hanya bisa tersenyum… Sebab kosong tak pernah bermuara
Terdiam sesekali saat barbagai makna terlontar
Pada sang waktu…mungkin…sebab aku tak tahu
Tak sanggup memberi ilusi
Biarkan saja… biarkan tetap kosong… Mungkin mereka tak sanggup

Dan sehelai ilalang tertiup angin semakin mengering
Tak mampu lagi menahan rintihannya pada tindihan lukaluka
Karena kosong menerpa perih tak terjawab… pada kotak kosong
Sunyi dan beku meracun harihari…
Aku kembali hanya bisa terdiam…
Melihat…
Kotak kosong dan sehelai ilalang
Kesepian…

Bulan Hujan dan Perempuan di Sudut Taman

Bulan hujan, kekasih...
Aku belum juga terlelap
Ketakutanku akan jawaban semakin menuntutku untuk lontarkan tanya
Kau masih saja bersiul
Sementara pisaupisau tajam menghunus kata
Bulan hujan, kekasih...
Aku di sini masih saja memeluk rembulan
Bintangbintang mengutukku
Tapi aku akan tetap di sini
Selalu di sini...
Untuk menari...

Bulan hujan, kekasih...
Dan gemerlap rembulan mampu membius relung pertikaian
Aku akan selalu datang
Membawamu merajut bintangbintang
Bulan hujan, kekasih...
Jangan pernah takut akan matahari
Meski sinarnya tajam menghujam
Kita akan berpayung anyamanyam cirrus
Bulan hujan, kekasih...
Bahkan cericit camar iri akan kisah ini...

Bulan hujan, kekasih...
Hadirku kini bukan untuk mengutuk sang hari
Hadirku kini hanya untuk melukis wajahmu
Di kanvas langit dengan gemintang dan taburan sinar rembulan
Bulan hujan, kekasih...
Benarkah kau akan datang
Seperti janji malam pada siang
Purnama ini seperti saat itu
Kau pasti akan datang
Saat cumulus menyergap butir bintangbintang
Aku akan menunggumu menyalami purnama
Meniup sisasisa rindu
Bulan hujan, kekasih...
Aku akan terus menari menjejaki takdir
Aku akan terus menari untuk menunggumu...

Bulan hujan, kekasih...
Temaram rembulan kini enggan bercanda
Sebab dia lelah... sangat lelah...
Memacu bingkaibingkai malam
Mendendang rindu pada garisgaris mimpi
Bulan juhan, kekasih...
Kutunggu kau mengoles jejak
Di sini...
Selalu di sini...

Bulan hujan, kekasih...
Mengecap harihari semakin membawa inginku untuk membasuh wajahmu
Langkahlangkah ini membiru
Membawa titik akhir pada pertikaian
Apa kau masih di sini
Memeluk rembulan dalam redup kabut
Sayu wajah menghias kelam
Mendendang syair pada malammalam bulan hujan
Bulan hujan, kekasih...
Kubunuh ragu untuk berdatang
Menjawab rindu dalam teriak serdadu
Selalu kubawa detikdetik darimu
Untuk dihenti oleh satunya kita

Bulan hujan, kekasih...
Jejakmu yang dulu kau tinggal
Kini semakin memudar di telan kabut
Garisgaris mimpi semakin berpendar
Tapi aku masih menari
Menari untuk memapas rindu
Bulan hujan, kekasih...
Aku masih terus menari
Meski laras senapan telah hentikan detikmu
Sebab masih terus kuyakin
Bahwa pada tujuh purnama bulan hujan kau akan selalu datang

Bulan hujan, kekasih...
Telah bungkam teriak itu
Oleh ujungujung tombak
Meredup sudah bintang dan bulan
Tapi aku akan tetap menari
Pada malammalam bulan hujan
Untuk selalu menyambut hadirmu
Merebut mimpimimpi anakanak beringus...

Deja Vu

Masihkah kau di sana memikirkanku
Atau malah kau coba mencuci sisasisa goresan penaku yang telah mengotori tirai kamarmu
Aku masih saja terkekang dalam ruangan tak berpintu ini
Masih mencoba mengukir aroma wangimu dulu
Pernah kau tinggalkan di permukaan otakku
Jujur saja aku merasa hampir kehilanganmu
Meskipun aku sadar bahwa aku belum pernah memilikimu

Lelapkan saja agar aku tak pernah sempat mencuri mimpimu
Bagiku cukup secawan arak saja
Aku sudah bosan memaksa otakku bermimpi
Sebab inilah mimpi, segalanya mimpi
Dan aku tak pernah merasa terbangun
Untuk bercerita kepadamu atau kepada siapapun

Lebih baik sekarang kubiarkan saja engkau dengan segala inginmu
Dan aku cukup memandangimu sambil bersiul
Lalu memutar sebuah lagu yang dulu biasa kita dengar bersama
Sayang sekali, penaku sudah hampir patah
Padahal sajak ini belum selesai

Kepada Seseorang

Langkahku terhenti seketika
Saat geliat tubuhmu menyapa rayuan angin
Menampar angkuhnya debur
Pada hamparan membiru luas

Langkah mulut tercekat patah
Ketika teriak pandangmu membakar sejuk aroma embunembun
Tanahtanah basah darah menyerap kering rerasa duka
Memburu naif gejolak birahi...

Kepada seseorang kubisikkan cinta tanpa katakata

25.8.09

Lelaki Tak Pernah Menyesal

Beberapa hari yang lalu aku melihatnya masih menghitung kesempatan demi kesempatan
Tak juga ada sapaan yang sanggup menggantikan layu langkahnya
Seperti lenggak-lenggok ilalang yang diterpa hembusan di belakang rumahnya
Tapi dia masih membayangkan rentetan takdir yang mungkin atau tak mungkin bisa dia baca
Harapannya melayang bersama nyaring suara sirine ambulan yang memecah setiap lamunan
Melintas begitu cepat seakan ketakutan melihat hidup yang semakin tak jelas
Aku mencoba memahami setiap perkataan yang pernah dia ucapkan
Tapi hanya beberapa celoteh yang sempat menyumbat nafasku
"Tuan, kau kelihatan semakin renta..."
Begitu katanya
Dan aku hanya tersenyum lalu memaki dalam hati
"Baumu tak lebih harum dari tai kucing!!!"
Selanjutnya kau bakar cerutu yang tinggal setengah pemberian tuanmu kemarin
"Ah... betapa hidup bagaikan sebatang rokok"
Aku tak mungkin tahu maksudnya
Karena dia hanya bicara pada dirinya sendiri
Baiklah... Aku akan membiarkannya menikmati hidupnya yang tinggal separo
Aku cukup melihatnya...
Siapa tahu aku punya kesempatan mencuri sedikit darinya

23.8.09

Mimpi (ku) Binasa

Untuk siapa aku harus menulis puisi
Ketika semua makna selalu membinasakan mimpi-mimpi
Bukankah mereka tak pernah lelah untuk bermain?
Sungguh senyumanmu sanggup biaskan semua warna
Dalam pertempuran pikiran dan kenyataan yang menjemukan

Tak perlu lagi merangkai letupan khayalan
Karena semua telah tersusun
Dan siap mengunjungi setiap malam
Sanggupkah???
Lantas untuk apa…
Toh semua juga masih seperti biasanya
Mungkin sekarang saatnya tertawa
Dan berdarah-darah
Mengapa? (hanya itu)

Tak perlu lagi memahami
Atau mencoba menarik sebuah kesimpulan
Sebab semua ini maya
Hanya saja sakitnya memang nyata
Sudahlah biarkan saja
Sebaiknya mencoba menari saja untuk merayu rembulan
Mungkin sedikit melacurkan senyum
Untuk menarik perhatiannya

Sampaikah?
Pada ujung kenyataan
Selanjutnya torehkan beberapa warna (lagi)
Sebab sebelumnya hanya hitam dan biru
Lantas???

Tak pantas meminta
Merasa hina
Pada siapa?
Sekali lagi…
Lelah ini selalu menghantui
Dan kita…
Lagi-lagi kehabisan waktu


19.8.09

Meraba Tiada

sombong
meracun diri
sudi (kah)?
tapi Tuhan tak pernah lupa
memang
tapi tak mampu menerima

jatuh
pasti
tapi tak pernah sakit
sebab masih terlena
aku meraba
pada tiada

berharap
kembali berdiri
mampukah?
mungkin
sekarang atau nanti
sebaiknya merebah dulu
agar tertata
hati
jiwa
asa
jalan

13.8.09

Mungkin II

; sejenak ingin melupakan rasa ragu

Adakah kata selain “mungkin” untuk mengungkapkan tatapan itu?
Beberapa waktu yang lalu aku masih sempat melukis jejakmu dalam jengkal perjalananku
Karena memang mungkin aku tak pernah meragu pada langkah beku ini
Mungkin memang inilah perubahan yang harus ku hadapi ketika mentari tak lagi kejam menusukkan teriknya
Mungkin saja… sebab mungkin aku telah kehilangan imaji pada rintik gerimis itu
Atau mungkin… aku tak sanggup lagi melihat “kemungkinan” pada setiap perubahan hari-hari…

Apa mungkin aku bisa melupakan keraguan pada tatapan rembulan itu?
Apa mungkin juga “kemungkinan” lain dapat menghapus rasa ragu itu?
Tapi terlanjur terlupa pada khayalan yang memungkinkan aku dapat menemukan pemaknaan
Pada “mungkin”…
Aku sakit… sungguh tersiksa dengan sebuah kata “mungkin”
Karena semua maya… dan hanya kata itu yang selalu menjejali otakku

Lagi-lagi harus berhadapan dengan “kemungkinan”
Ketika aku harus mengakhiri cerita ini
Tapi aku sudah terlalu lelah untuk berfikir
Atau mungkin… aku telah kehilangan “kemungkinan”
Mungkin…
Masih adakah daya untuk menciptakan “kemungkinan”?
Mungkin…
Mungkin juga tidak…
Semua adalah “mungkin”
Lelah…