29.8.09

DUEL

(sebuah cerpen)
Sunyi… Sesunyi mata pedang bisu menusuk dada kedua lelaki yang terkapar di sudut dunianya masingmasing. Tak ada teriak tak ada tangis. Hanya isak rintik hujan yang sejak senja tadi masih setia menyusun helaihalai alunan pertikaian. Tanah memerah, air memerah, laut memerah… darah. Taka ada yang tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Secepat kilat, pedang berdenting karena pertemuannya dengan jenisnya. Seritmis hujan, ayunan kematian bertautan. Dan secepat itu pula sunyi… tak ada tangis, tak ada teriak. Sesunyi mata pedang yang bisu pada aliran darah.



Aroma tanah basah masih sangat menyengat ketika seorang pria dan anak lelakinya merajut langkah menyusuri ruas jalan setapak yang masih becek karena hujan semalam. Burungburung enggan berkicau sebab dingin pagi ini benarbenar menusuk. Bias mentari malumalu di sela rimbun dedaun yang masih basah oleh butirbutir jernih sisa hujan semalam. Pgi ini benarbenar sunyi, tak ada satupun manusia selain ayah dan anak itu yang melakukan aktifitas. Orangorang lebih memilih bermalasmalasan di tempat tidur atau duduk bengong di depan perapian. Tegap langkah kedua lelaki itu memecah kesunyian, menyusuri ruasruas jalan di pinggiran belantara. Tak ada yang bicara. Tak satu pun kalimat yang mampu menterjemahkan raut mka mereka. Tapi seolah mereka bercakap, lewat diam, lewat batin, sesekali mereka beradu pandang, saling bertanya melalui sorot mata. Langkah mereka semakin cepat ketika mereka sampai di bibir hutan dan berhenti di bawah pohon gaharu yang batangnya sangat besar.
“Apa kita sudah sampai?”
“Ya… di sinilah tempatnya”
Mereka kembali bercakapcakap lewat diam
Setelah berdiri mematung selama beberapa menit, entah berdoa atau membaca mantra, sang ayah mulai menggaruk, menggali dengan penuh semangat, hingga tak memperdulikan ketika beberapa kuku jarinya terlepas dan mengalir darah segar dari ujung jarinya. Sanga anak masih diam. Dia berdiri termangu tanpa berkata apapun. Dia hanya memperhatikan kelakuan ayahnya yang sejak beberapa jam yang lalu menggarukgaruk dan menggali tanah di bawah pohon gaharu raksasa itu.
Ayahnya seperti mencari sesuatu. Sesuatu yang sangat penting. Sangat penting bagi ayahnya, atau mngkin bagi mereka berdua, bahkan seluruh keluarganya.
Hampir tengah hari, dan mentari telah benarbenar menumpahkan jerangnya. Panas, sepanas kepala pria yang sejak pagi masih buta tadi menggali tanah di bibir hutan ini, tapi belum menemukan apapun. Dia kelihatan sangat letih, dan bersitan putus asa mulai terlihat dari garis wajahnya. Tapi dia belum berhenti, dia masih menggali. Dan sang anak masih terpaku dalam diamnya. Dia masih saja bertanyatanya tentang apa yang sedang dilakukan oleh ayahnya.
Tepat tengah hari ketika pria itu tibatiba menghentikan penggaliannya. Dia berdiri tegap memandang langit, matanya nyalang, tajam menusuk gumpalan awan. Lalu dia tertawa, terbahak, keras, semakin keras. Lalu dia diam, memandangi anaknya denganpandangan harimau. Tapi sang anak tetap diam tak bergeming.
“Aku sudah selesai anakku… Ternyata takdir ini memang harus terjadi.”
Lalu pria itu mengambil sesuatu dari tanah yang digalinya. Sebilah pedang, tajam mengkilap, kejam menghunus.
“Ingatlah baikbaik tempat ini anakku, sebab hanya dua kali dalam hidupmu kau akan dipanggil kemari. Seperti juga aku dan para leluhur kita.”
Lalu mereka berdua bergegas meninggalkan tempat itu.

***

Senja menelan mentari, memaksa pungguk untuk terjaga, dan malam mulai merayapi langit. Malam yang cerah, namun sunyi, seakan tersihir mantra kematian. Aroma dupa dan wangi kembang kematian menyebar, menyelubungi bibir hutan, jalanjalan, pucukpucuk ranting.
Dalam sekelebatan mata, sosok manusia berjalan. Pelan, tanpa suara. Dia menuju pinggiran hutan yang pagi tadi didatangi dua orang ayah dan anaknya. Dia berjalan pelan tanpa ekspresi, tak ada marah, tak ada sedih, tak ada tawa. Pada setiap langkahnya meninggalkan aroma dupa dan kembang kematian. Membungkam setiap mulut mahluk malam yang menghuni sudutsudut hutan. Bahkan lolong serigala pun tercekat bisu.
“Tampaknya dia sudah kemari” Gumamnya seperti menebak sesuatu
“Dan takdir harus di jawab”
Malam semakin larut dan mencekam ketika sosok lelaki itu sampai di bibir hutan. Tanpa bicara, tanpa hembusan, dia menghilang di bibir hutan itu. Hanya kilatan kecil cahaya yang mengiringi menghilangnya sosok lelaki itu. Seketika itu pula aroma dupa dan wangi kembang kematian sirna. Dan mulutmulut malam kini tak lagi terbungkam.

***

Awan menggulung, menggumpalkan kemarahan. Menghitam mengelam. Gelegar halilintar memecah hening, mengisyaratkan tantangan. Titiktitik hujan menghujam, membasahi setiap jengkal belantara. Dingin menyergap, beku, sebeku bongkahan hati jiwajiwa pendendam. Desau angina menusuk pengakuan, pada nasib, pada takdir. Hawa peperangan, ini hawa peperangan, dan harus dihirup, dirasakan, ditelan. Gelegar halilintar kembali bertalu, bersahutan, bagaikan riuh kendang pertempuran di medan pengakhiran. Setiap Tanya harus di jawab, setiap pemberian harus diterima, dan setiap takdir harus dijalani. Inilah saatnya, inilah waktunya untuk melanjutkan apa yang telah digariskan, dua pedang harus bertemu, dua nyawa harus melayang. Sejak kapan? Sampai kapan? Bukan permusuhan, sebab tak ada yang tahu siapa dan siapa. Tak ada kata sapaan antara siapa dan siapa. Tak ada pertemuan sebelumnya. Hanya pedang dan kematian yang mempertemukan mereka. Di satu tempat, di satu waktu, pada setiap generasi. Petir sebagai tanda, angina sebagai undangan, hujan sebagai pengiring, pada setiap kematian yang harus dijalani, dan ini harus terjadi.

***

Di sudut ruangan, seorang lelaki tegap berdiri. Dia menghitung waktu. Pedang telah disandang. Meneriakkan tantangan, haus sayatan, lapar darah. Dia berdiri mematung, mulutnya rapat terkatup, matanya tajam memandangi cermin. Dia mengingat sesuatu, untuk sesuatu. Bukan gentar yang dirasa, bukan pula takut, sebab dia tahu apa yang sedang terjadi. Lelaki itu hendak meninggalkan sesuatu, satu kata, tapi mulutnya tercekat, tak boleh mengucapkan kata itu, sebab tak ada gunanya, dia harus menjalani, demikian pula anak, cucu, dan generasigenerasi berikutnya. Sebab inilah takdir mereka, pada saatnya nanti.
Seorang anak memasuki ruangan, menghampiri ayahnya. Dia terheran dengan apa yang sedang dilakukan ayahnya.
“Ayah hendak kemana? Kenapa bawa pedang? Bukankah jaman sekarang orang lebih suka membunuh pakai pistol? Karena lebih cepat dan tidak menyakitkan…”
Ayahnya masih diam, tak bergeming. Dia masih memandangi cermin
“Apa ayah nanti tidak akan pulang lagi?”
“Anakku, apa kau merasa takut jika nanti ayah tidak pulang?”
Anak itu diam, bingung dengan pertanyaan ayahnya.
“Aku tahu, kau tidak pernah merasakan takut, kau mewarisi darahku, darah nenek moyang kita, darah pejuang, jiwa petarung sejati…”
“Jangan pernah menangis, sebab tangis haram bagi seorang petarung.”
Dia lalu mengajak anaknya duduk di ranjang. Dia bercerita kepada anaknya tentang peperangan, tentang pertarungan satu lawan satu dan harus di akhiri dengan kematian di kedua belah pihak. Hingga tak terasa malam telah larut dan anaknya telah terlena dalam lelapnya.
“Inilah saatnya, petir itu tandanya dan hembusan ini adalah teriak tantangan.”
Lelaki itu beranjak, mencium kening anaknya dan meninggalkan ruangan itu. Dia keluar berjalan menyusuri ruasruas jalansetapak, menuju satu tempat dimana telah ditentukan akhir dari semua tanya.
Langit semakin mengelam, petir semakin menggelegar bersahutan dengan denting suara pedang yang bertautan. Hembusan angina semakin kencang, menjelma badai, keras, semakin keras, tak ada teriak, tak ada tangis. Rintik hujan menjadi alunan pertarungan. Malam membeku, namun ganas membawa kematian. Petir semakin keras menggelegar, membahana di seluruh penjuru. Angina menjelma badai, mengguncang sisi jiwa pedang bertautan mencipta percikpercik kematian dan seketika sunyi. Semua berhenti, semua membisu, sebisu mata pedang yang kejam menusuk dada kedua lelaki yang terkapar di sudut dunianya masingmasing. Tak ada teriak, tak ada tangis. Tanah memerah, air memerah, sungai memerah, laut memerah, darah… tak ada tangis, tak ada teriak. Sesunyi mata pedang yang bisu pada aliran darah.
“Ingatlah baikbaik, sebab hanya dua kali dalam hidupmu kau akan dipanggil kemari… Saat kau mencabut pedang dari dada musuhmu, dan saat dadamu tertancap pedang milik musuhmu”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apapun yang kalian katakan akan sangat berarti bagiku