1.12.09

Semenit Menjelang 01 Desember

Haruskah aku kehilangan sejuta cahaya
Ketika Jalan yang kutempuh tak juga berujung
Katakata runtuh menjadi tangisan tak hentihenti
Menghitung himpitanhimpitan dalam buku masa silam
Doadoa kini telah menjelma makian
Mengkristal diantara syairsyair tanpa makna
Benarkah telah putus peradilan masa

Aku tengadah di bawah khotbahkhotbah tak pernah terucap
Sajakku telah lama mati diterkam kekejaman sejarah
Anganku tersesat di ganggang kumuh
Dan mulutmulut kesunyian serasa hendak menerkam fikiranku sendiri
Haruskah kulanjutkan perjalanan atau kembali pulang
Tapi ruang ini gelap, sementara tanganku membeku tak dapat meraba

Ingin kutemukan keabadian di seberang mimpiku
Di sana kau senandungkan kidung tanpa katakata
Tapi puisiku masih tercecer belum juga kukemasi
Aku tak mau menyalakan lilin
Karena aku takut dia ikut terbakar

Dalam gelap kuhitung waktuku dengan rumus tangisan
Mendadak tergagap, batinku menjerit tak bosanbosan
Mengapa selalu kutemui jalan buntu
Kapankah kita sampai pada dinding waktu tak pernah runtuh
Seribu tanya tak ada jawab bertubitubi menamparku
Haruskah aku kehilangan masaku
Sementara aku masih ingin mengukir langit dengan katakata...


**Untuk para penderita AIDS di seluruh dunia

12.9.09

phobia pagi

akankah kau kembali sembunyi
ketika matamata mulai melihat
wajahwajah mulai meratap
tawatawa mulai melesat
tangistangis mulai meledak
ambisiambisi mulai marapat
dan sebaris kata tak mampu terungkap
aku rindu pekat...
merayapi tubuh membasuh...lekat
aku tak pernah mampu menatap
matahari pagi seakan kejam menyantap...
hanya mampu lelap...

7.9.09

Pagi yang Merah

sembunyisembunyi kau menatapku dari balik mimpi
setelah kau patahkan malammalam tanpa notasi
aku tak peduli meski masih kau tabur duriduri di atas ranjangku
apa yang kau harapkan?
telah sempurna kau bunuh waktu
hanya saja sebatang korek api ini masih belum terbakar
biarkan kering
embun pun enggan menabur beku
aku memang tak pernah sanggup mengalahkan tipuan khayalan
sebab daya selalu habis terkuras sajak yang tak pernah usai
dan aku selalu terjebak dalam pikiran tanpa dasar
mencoba meraih pagi yang merah dengan sempurna teriak malam
ah, aku membunuh kejujuranku (lagi)
kuharap masih selalu sempat melihatnya bersiul

seseorang menepuk pundak mengajakku bercumbu dengan kesadaran
juga mengingatkan tentang pencuri tak pernah jera
lantas apa yang bisa dilakukan?
toh mereka tak peduli dengan harta miliknya sendiri
apa hujatan masih mampu bungkam teriak dengki nya...
sudahlah, lebih baik memutar lagu sambil menikmati merahnya pagi

6.9.09

Bulan Hujan dan Perempuan di Sudut Taman (sebuah cerpen)

Dia masih di sana. Masih menari. Entah sejak kapan dan sampai kapan dia akan menari tak ada yang pernah tahu. Sesekali dia berdendang, juga bersajak. Tapi semua itu bukanlah jawaban untuk apa yang dilakukannya. Dia memang cantik. Tapi dia tak pernah tersentuh. Hatinya. Oleh apapun juga siapapun.

Bulan hujan, kekasih...
Aku belum juga terlelap
Ketakutanku akan jawaban
Semakin menuntutku untuk lontarkan tanya
Kau masih juga bersiul
Sementara pisaupisau tajam menghunus kata
Bulan hujan, kekasih...
Aku di sini masih saja memeluk rembulan
Bintangbintang mengutukku
Tapi aku akan tetap di sini
Selalu di sini
Untuk menari...

Lalu dia kembali menari meliukkan seluruh persendiannya, meloncat, berputar, semakin cepat lalu melambat, kembali cepat, melupakan komposisi, dia terus bergerak, terus meliuk, sesekali di iringi dengan erangannya yang mampu menyayat mata langit, sesekali terjatuh juga, lalu kembali menari, hungga fajar tiba dan dia berlari ke sudut taman di antara belukar dan lenyap di telan bumi.


Terik matahari ini semakin lama semakin menyengat di kepala. Aku yang sejak pagi duduk di pinggir taman ini masih malas untuk beranjak. Menyendiri di taman setiap pagi memang sudah menjadi kebiasaanku sejak lama, tepatnya kapan aku sendiri sudah lupa dan enggan untuk mengingatnya. Yang pasti aku selalu dapat menikmati kesendirianku di pinggir taman ini, dengan segelas kopi dan sebuah surat kabar pagi. Tapi pagi ini aku benarbenar enggan untuk beranjak. Padahal hari benarbenar sudah terik dan aku harus segera berangkat ke kantor. Tapi aku tak peduli, anganku sudah terlanjur berlari, entah kemana, aku sendiri tak mengerti.
Aku bertemu dengan seorang perempuan, aku seperti mengenalnya, tapi aku benarbenar tak bisa mengingatnya. Tapi entah bagaimana aku bisa begitu akrab dengannya, bercanda, tertawa, bersajak bersama. Aku dan dia, benarbenar seperti sepasang kekasih, tapi aku tak tahu siapa perempuan itu. Dia memanggilku dengan sebutan yang aneh. Petra... Petra... dia memanggilku Petra... Padahal yang aku tahu dan yang pernah ku baca di KTP, akta kelahiran, ijasahijasahku, dan suratsurat yang lain namaku adalah Burhan Udin, bukan Petra. Tapi entah mengapa panggilan itu benarbenar akrab di telingaku.

Bulan hujan, kekasih…
Dan gemerlap rembulan mampu membius relung pertikaian
Aku akan selalu datang
Membawamu merajut bintangbintang
Bulan hujan, kekasih…
Jangan pernah takut akan matahari
Meski sinarnya tajam menghujam
Kita akan berpayung anyamanyam cirrus
Bulan hujan, kekasih…
Bahkan cericit camar iri akan kisah ini…

Seperti itu, aku benarbenar mengucapkan sajak itu. Padahal aku belum pernah menulis atau pun membaca sajak yang seperti itu. Aku semakin tak bisa mengerti tentang apa yang ku alami. Hingga tibatiba aku dikagetkan oleh suara ponselku dan membuyarkan anganku. Ternyata bos menelponku dan menyuruhku agar segera ke kantor karena banyak sekali pekerjaan menumpuk yang belum ku selesaikan. Aku melangkah meninggalkan taman itu, meninggalkan sesuatu yang benarbenar tak kumengerti di taman itu.
***
Senja kembali merayapi langit. Menghapus jejakjejak matahari yang seharian tadi benarbenar menyengat sekian juta kepala yang sibuk dengan pikiranpikirannya masingmasing, baik pikiran cerdas, cerdik, bodoh, licik, aneh, dan segala macam pikiran yang dimiliki manusia. Langit semakin kelam, sebab bulan hujan mulai mendaki hariharinya. Dan membuat suasana di taman itu menjadi semakin lengang dan suram. Taman itu memang sudah lama di tinggalkan oleh orangorang. Mereka sudah tak pernah lagi kesana. Mungkin karena pengelolaan dari pemerintah yang kurang bagus. Hal ini terlihat dari kebersihannya yang kurang terjaga. Di sanasini banyak tercecer rontokrontok daun kering, kotoran binatang, ceceran sisa alat kontrasepsi bekas di pakai oleh para mudamudi yang di mabuk asmara tapi tak punya uang untuk menyewa kamar hotel, hingga mereka memanfaatkan taman itu yang memang gelap dan sepi. Penghuni taman itu hanyalah pepohonan yang entah sudah berapa ratus tahun usianya, terlihat dari batangbatangnya yang benarbenar besar, bagaikan tubuh raksasa yang siap menerkam siapa saja, beberapa jenis satwa seperti bajing, burung, dan juga seorang perempuan bergaun malam berwarna putih bersih yang setiap malam selalu menari di taman itu.
Malam semakin menyelubungi tirai langit. Malam ini benarbenar gelap dan sunyi, sebab awan bulan hujan yang sedari senja menggumpal di langit enggan untuk beranjak. Seperti malammalam sebelumnya, perempuan itu kembali menari, meruntut jejakjejak, dengan beriring gemerisik dedaun dibelai angin, juga siulan hewanhewan malam. Dia menari, sambil bersajak. Sesekali menjerit, mengerang, merintih, menangis, lalu tertawa, bercanda, sesekali dia duduk di kursi taman, berbicara seakan ada seseorang di sampingnya, bercerita seakan ada seseorang yang memeluknya, lalu tibatiba menjerit, tertawa lagi, menangis, kembali bercerita, tak pernah peduli entah ada yang mendengara atau pun tidak. Tapi dia benarbenar seperti berbincang dengan seseorang.

Bulan hujan, kekasih…
Hadirku kini bukan untuk mengutuk sang hari
Hadirku kini hanya untuk melukis wajahmu
Di kanvas langit dengan gemintang dan taburan sinar rembulan…
Bulan hujan, kekasih…
Benarkah kau akan datang
Seperti janji malam kepada siang
Purnama ini seperti saat itu
Kau pasti akan datang
Saat cumulus menyergap butiran bintangbintang
Aku akan menunggu engkau menyalami purnama
Meniup sisasisa rindu
Bulan hujan, kekasih…
Aku akan terus menari menjejaki takdir…
Aku akan terus menari untuk menunggumu…

Lalu dia kembali menari. Kali ini tariannya berbeda, dia menari sambil terus berlarilari mengelilingi taman, menggambarkan kegetiran, kesedihan yang begitu mendalam. Disertai dengan tangis dan sajak, dia terus menari menembus batas ruang, waktu, takdir, mimpi, kenyataan. Dia masih saja menari meski rinai mencoba menghentikannya dengan menghujamkan butirbutir kesedihan di seluruh tubuhnya. Tapi dia tetap menari, menari untuk sebuah penantian, membelai puncakpuncak angan, memapas sudutsudut malam. Dia masih menari membungkam tawa rembulan, terus menari hingga fajar tiba dandia kembali berlari ke sudut taman diantara belukar dan lenyap di telan sunyi.
***
“Hari baru menggeliat kau sudah berangkat. Pagi benar? Ada lembur?” seseorang menyapaku saat aku baru keluar dari rumah kontrakanku. “Sepertinya ada yang ketinggalan di taman kemarin” aku menjawab sekenanya, berharap dia tidak bertanya lagi. Aku memang orangnya cenderung tertutup, jarang berbincang dengan orang lain jika hanya sekedar basabasi. Malas membicarakan hal yang tidak ada gunanya. Aku lebuh suka sendiri, membaca koran sambil mencari peluang bisnis. Aku memang dikenal seorang pekerja keras dan ulet, tapi kurang pandai dalam hal pergaulan. Tapi aku tak pernah memperdulikan hal itu. Orang hidup kan untuk dirinya sendiri. Untuk kebutuhan perutnya sendiri. Apalagi di jaman yang serba bayar ini. Jika aku terlalu sibuk memikirkan orang lain, maka urusanku sendiri jadi terbengkalai. “Kau masih suka menyendiri di sana?” dia bertanya lagi “hatihati lho kata orang di taman itu banyak hantunya. Dan katanya ada hantu seorang perempuan cantik yang suka menangis setiap malam. Hii… ngeri deh…” Kali ini aku benarbenar muak dengan apa yang dikatakannya. Tanpa memperdulikannya aku terus saj keluar menyusuri ruasruas jalan. Pikiranku hanya tertuju pada taman itu. Entah apa aku sendiri tidak mengerti. Seperti ada seseorang yang memanggilku dari sana. Seperti ada kekuatan yang menarikku untuk pergi kesana.
Aroma tanah basah sisa rinai semalam masih menyergap penciumanku. Langkahku terhenti di sudut taman ini. Aku seperti teringat sesuatu. Sesuatu yang benarbenar pernah kualami. Entah kapan aku sendiri masih bingung, sebab kenangankenangan yang bermunculan seperti rentetan peluru dari senapan mesin seorang serdadu. Begitu cepat, begitu tajam. Aku masih saja terpaku di sudut taman ini, di depan sebuah kursi panjang di bawah temaram lampu. Hingga tibatiba kulihat seseorang duduk di sana. Seorang perempuan bergaun malam putih bersih. Dari guratan wajah yang benarbenar cantik terlihat pancaran kecemasan dan kesedihan yang begitu mendalam. Dia seperti menunggu seseorang. Mungkin kekasihnya. Bibirnya yang sedari tadi terkatup perlahan bergerak.

Bulan hujan. Kekasih…
Temaram rembulan kini enggan bercanda
Sebab dia lelah… sangat lelah…
Memacu bingkaibingkai malam
Mendendang rindu pada garisgaris mimpi
Bulan hujan, kekasih…
Kutunggu kau mengoles jejak
Di sini…
Selalu di sini…

Aku begitu termangu mendengar sajak yang baru saja diucapkan perempuan itu. Aku seperti mengenal sajak itu. Aku seperti pernah mendengarnya bahkan mengucapkannya. Tapi kapan? Dimana? Sesaat kemudian soerang lelaki setengah berlari mendatangi perempuan itu. Di sudut taman, di sebuah kursi dengan lampunya temaram. Aku terperangah tidak percaya… Lelaki itu… Aku… Wajahnya mirip sekali denganku, bahkan tidak ada bedanya. Hanya pakaiannya saja yang membedakan dia denganku. Kemeja putih bersih, jas hitam dan dasi kupukupu. Dia mendatangi perempuan itu lalu memeluknya. “Petra… Kenapa lama sekali…Bulan hujan ini sungguh membawa cemas yang menusuk. Aku tak sanggup menghadapi, Petra… Tetaplah di sini untukku, sampai matahari bosan memberikan kepedihan. Peluklah hatiku, Petra… Sukmaku luruh di pelataran jiwamu…” Perempuan itu menghamburkan tangisnya. Tibatiba aku teringat sesuatu. Beth… ya… pasti namanya Beth… Mereka kemudian duduk bersama di kursi taman itu. “Bulan hujan ini aku harus pergi. Jangan kau cumakan tangismu. Sebab akan kutinggalkan jiwaku untuk selalu memelukmu, Beth… Tunggulah aku di sini. Pada tujuh purnama, saat dentum meriam terbungkam kekalahan. Saat tombak prajurit patah berkalang. Saat laras senapan mampat oleh pengakhiran. Tetaplah di sini, sebab aku akan selalu mendatangimu pada malammalam bulan hujan.” Sesaat mereka berciuman dan lelaki itu pergi meninggalkan taman dengan lampunya temaram dan seorang perempuan di sudutnya.
Aku masih termangu menyaksikan kejadian itu. Sepertinya aku pernah mengalaminya. Sepertinya aku yang mengalaminya, tapi kapan… Aku benarbenar bingung dan tak mengerti. Teman-aku-perampuan-bulan hujan-purnama-Petra-Beth-tapi aku bukan Petra, aku benarbenar bingung, hingga tibatiba pandanganku menjadi gelap. Sekulas aku hanya melihat sekelompok orang membawa tombak, pedang, senapan. Mereka mengejarku, membacokku, menusuk, menembak, dan segalanya benarbenar gelap. Aku tak sadarkan diri.
Perlahan aku membuka mataku. Terang… benarbenar menyilaukan. Aku berada di ruangan yang berbalut kain putih. Aku masih mencoba mengumpulkan segala kesadaranku. Mencoba mengingat apa yang telah kualami. Lagilagi ingatanku tertuju pada sosok perempuan bergaun putih di sudut taman dengan lampunya temaram. Aku hamper beranjak ketika tibatiba seseorang masuk ruangan ini. “Bapak jangan bangun dulu. Lebih baik istirahat dulu karena bapak sudah pingsan selama tiga hari” seorang yang mirip dokter itu mencegahku berdiri. “Apa? Aku pingsan tiga hari?? Bagaimana bisa? Terus dimana ini? Siapa yang membawaku kesini dan bagaimana dengan perempuan itu? Apa dia masih menunggu kekasihnya?” Aku mencoba mencari tah apa yang terjadi. “Sudahlah pak, lebih baik bapak istirahat saja. Tidak perlu memikirkan halhal yang lain. Sekarang bapak di rumah sakit, seseorang menemukan bapak pingsan di taman tiga hari yang lalu. Mungkin bapak mengalami shock atau depresi. Sekarang bapak istirahat saja dan jangan berfikir macammacam. Nanti kalau kondisi tubuh bapak sudah pulih baru boleh pulang.” Apa yang terjadi? Aku pingsan tiga hari, tapi kenapa? Pertanyaanpertanyaan itu benarbenar menyiksa. Tanpa satu pun dapat kutemukan jawabannya. Lebih baik aku menuruti saran dokter itu dan segera kembali pulang.
***
Senja ini begitu layu. Kelabu langit bulan hujan enggan merangkak. Matahari pun malas teriak. Dan cakrawala masih terlelap. Langkahku gontai meninggalkan kantor yang seharian menguras isi otakku. Segera kembali ke rumah dan merebahkan tubuh adalah impian terbesarku hari ini. Tapi isi kepalaku telah jauh menerawang menembus batas mimpi. Tersesat entah kemana. Langkah masih kupacu, hingga tiba aku di mulut taman ini. Sesaat aku berhenti, memandang kursi di sudut taman yang membeku. Seperti kebekuanku pada diriku sendiri. Aku masih termangu ketika langkahku kembali merayap menuju sudut taman ini. Aku masih malas untuk berfikir mengenai apa yang sedang kulakukan. Ku ikuti saja arah angan dan pandangku.

Bulan hujan, kekasih…
Mengecap harihari
Semakin membawa inginku untuk membasuh wajahmu
Langkahlangkah ini membiru
Membawa titik akhir pada pertikaian
Apa kau masih di sini
Memeluk rembulan dalam redup kabut
Sayu wajah menghias kelam
Mendendang syair pada malammalam bulan hujan
Bulan hujan, kekasih…
Kubunuh raguku untuk berdatang
Menjawab rindu dalam teriak serdadu
Selalu kubawa detikdetik dirimu
Untuk dihenti oleh satunya kita

Anganku masih saja berlari seusai aku mengucap sajak itu. Mendadak aku tergagap ketika kulihat sosok perempuan yang keluar dari balik semak. Perempuan itu begitu anggun dengan balutan gaun malam putih bersih, dengan tariannya yang melenggang mampu membius seisi taman untuk memandangnya, mengaguminya. Mungkinkah dia hantu yang selama ini dibicarakan orang? Aku rasa tidak mungkin. Di jaman yang serba komputer apa masih ada hantu? Jika dia memang hantu, apa mungkin bias secantik dan seanggun ini… Dia masih saja menari, di depanku hingga membuat aku tak mampu bergerak. Sesaat dia berhenti… Memandangku yang masih duduk di sini, lalu kembali menari. Aku jadi tak mengerti. Apa dia tak melihatku atau tak mau memperdulikan kehadiranku di sini.

Bulan hujan, kekasih…
Jejakmu yang dulu kau tinggal
Kini semakin memudar ditelan kabut
Garisgaris mimpi semakin berpendar
Tapi aku masih menari
Menari untuk memapas rindu
Bulan hujan, kekasih…
Aku masih terus menari
Meski laras senapan telah menghentikan detikmu
Sebab masih terus ku yakin
Bahwa pada tujuh purnama bulan hujan kau akan selalu datang

“Beth…!!! Ini aku… aku di sini… Ini aku Petra…!!!” aku mencoba memanggilnya. Tapi dia sama sekali tak bereaksi. Dia masih saja menari di depanku. Kali ini aku menghampirinya mencoba untuk menyentuh dan memeluknya. Tapi dia sama sekali tak tersentuh olehku. Aku semakin kalut dan tak mengerti. “Beth… Ini aku… Petra… Aku sudah datang. Hentikan tarianmu. Hentikan tangismu. Kita sudahi saja sajak bulan hujan ini… Sebab rembulan malam ini merekah. Merah membakar rindu kita. Aku telah datang. Laras itu tak kan mungkin bisa menghentikanku untuk menjawab mimpi kita. Beth… Lihat lah aku… Aku sudah di sini seperti janji malam pada siang.” Aku masih mencoba memanggilnya, memanggil dan memanggil. Tapi dia sama sekali tak mendengarku apa lagi melihatku. Dia masih saja menari, menembus butirbutir rinai. Semakin cepat tariannya menguasai seluruh ruang, seluruh angan. Ku coba mengejarnya, menghentikannya, tapi dia benarbenar tak tersentuh. Sambil merintih ak masih mencoba memanggilnya… Putuslah asa ku kini. Dia benarbenar telah tak tersentuh olehku. Aku hanya mampu memandang tariannya. Aku hanya mampu mendengar deritanya, tapi aku tak mampu menjawabnya, kekasihku…Beth…Masih merintih ku kutuk malammalam bulan hujan. Hingga tibatiba aku dikagetkan oleh suara seorang lakilaki. “Burhan apa yang kau lakukan disana…!!!??? Seperti orang gila saja teriakteriak sambil berlarilari. Apa kau sedang latihan teater…?” Aku tergagap dan tak mampu menjawab seruan itu. Dia adalah Hendra temanku satu kantor. Dia memanggilku dari bibir taman karena melihatku melakukan suatu hal yang aneh. “Hei… Ayo pulang… Malam sudah larut, apa besok kau mau bolos kerja lagi?” Hendra kembali memanggilku. Tapi aku masih bingung. Mencari, mencari Beth yang tadi menari di depanku. Tapi dia sudah tak ada. Telah lenyap di telan sunyi, tanpa berkata apa pun. Aku beranjak meninggalkan taman itu. Aku berfikir, tampaknya aku harus segera menemui psikiater. Dan sejak saat itu aku tak pernah lagi ke taman itu.

Bulan hujan, kekasih…
Telah bungkam teriak itu
Oleh ujungujung tombak
Meredup sudah bintang dan bulan
Tapi aku akan tetap menari
Pada malammalam bulan hujan
Untuk selalu menyambut hadirmu
Merebut mimpi anakanak beringus

Dan perempuan itu masih terus menari pada malammalam bulan hujan di dalam taman dengan lampunya temaram.

1.9.09

Imaji dan Permainan 3

; tabir

Sekarang aku ingin berimajinasi. Karena memang sekaranglah saatnya. Jangan katakan bahwa aku ini seorang penghayal. Kau belum begitu mengerti apa itu imajinasi. Karena sesungguhnya kebenaran tak akan pernah bisa mati. Hanya saja, kekejaman pola pikir kita yang mengaburkan kebenaran itu. Maka dari itu aku ingin mengajakmu berimajinasi. Untuk menyibak tabir yang mengaburkan kebenaran. Dan jangan pernah membatasi gerak kebenaran. Karena dia akan menipu kita dengan menciptakan kebenaran yang lain, lain lagi, lain lagi... seterusnya... tetaplah waspada, karena dia bisa muncul dari mana saja. Sekarang coba pejamkan mata dan segera akan kau lihat melalui meta yang lain, sebuah dunia yang lain, dunia yang sesungguhnya...

Jangan pernah takut untuk bermimpi...........

Imaji dan Permainan 2

; boneka

Sekarang kau ada dimana setelah begitu lama membingungkanku dengan pertanyaan-pertanyaan bodohmu... Beberapa waktu yang lalu kulihat kau menyendiri di tengah ngarai. Duduk termenung tanpa bergerak sedikitpun. Aku tidak bingung. Karena sesungguhnya hal itu bukan hal yang aneh. Hanya saja aku sempat heran ketika kau meminta sayap. Padahal tugasmu di sini belum kau selesaikan. Kau katakan bosan dengan rutinitas. Kau ingin mencoba sesuatu yang baru. Aku tidak habis fikir, kenapa kau sampai merasa seperti ini. Lantas apa daya kita? Aku katakan padamu bahwa kita tidak bisa berbuat apaapa. Kita hanya bisa menjalani. Tak perlu banyak bicara, tak perlu banyak menuntut, karena kita tidak akan bisa merubah alur. Kita hanyalah debu di celah kosmos. Maka dari itu aku mengajakmu kembali. Kita akan mulai permainan baru melanjutkan permainan yang telah kita tinggalkan...

Imaji dan Permainan 1

; Kendali

Melanjutkan kembali sebuah permainan bukanlah hal yang sulit. Aku sudah terlanjur terbiasa dengan permainan ini... Kendaliku telah kembali, kini bukan kebingungan lagi pokok dari permainan ini, tapi permainan inilah pokok persoalannya... Telah kulampui perjalanan panjang untuk bisa sampai di sini. Dan aku tidak menyesal melakukannya. Justru inilah yang kucari. Tapi apakah hanya sampai di sini? Tunggu dulu... telah berulang kali ku katakan bahwa ini adalah awal. Dan aku sendiri juga tidak begitu memahami kapan akan berakhir. Aku yakin kau pun begitu. Kita semua tidak pernah tahu dan tidak akan bisa menentukan. Maka jalani saja dan bermainlah dengan gembira. Karena pada dasarnya kita semua dan kosmos adalah permainan........

Malammalam Tanpa Luka

Tak perlu kembali mengingat langkahlangkah
setiap bebatuan adalah ceritaku hari esok
malammalam beku tak usaiusai
rembulan pun tertusuk ilalang
diamdiam melantun lagulagu mimpi
pada bayang masa lalu
apakah kau selalu di sana...
terduduk malumalu menjaring katakata
aku luka... dan kau membiru... lalu...

kuharap kau tak pernah bertanya siapa aku
Sebab tak kunjung usai kuhitung waktu bersamamu
lupakan saja bayang hitam menghadang pandang
biarkan tetap maya matamata kita
jangan pikirkan ratapan luka pada ragu
setiap kedatanganmu adalah...
malammalam tanpa luka

(untuk bidadari pemimpi)

31.8.09

There's No Remained

I feel frozen dancing between days rug
when I start hope with angry scream
and in blurred I saw time shadow ago appear between trot out
still with memories slow motion counts one after another faces without sin
longer incising smarting in trip palm
now return me trapped in empty word resemble dream
not can i am awaken although your screams solve quiet
really i am not authority again to holding back…

what want I dreaming also more illusion
in wriggle hindrance struggle more huddle
warriors that tired now can’t moving again
they tired with empty fantasy. no more fluctuation
now my soul lost groans to ask cemetery
but one span even also there is no remained to I cultivate again new seed
is that regret…? then what is this…?
because days now not again leave over space

may be now moment it I must be borned to return
in new world more foreign
leave conflict remainder in step yesterday
may be time has come other warrior has taked over my character
although with smarting I must carry a sword stab in the heart of hope
but at least I incise colour
I hope they know that still a lot not yet seen
although sometimes look at illusion cheats inner

29.8.09

DUEL

(sebuah cerpen)
Sunyi… Sesunyi mata pedang bisu menusuk dada kedua lelaki yang terkapar di sudut dunianya masingmasing. Tak ada teriak tak ada tangis. Hanya isak rintik hujan yang sejak senja tadi masih setia menyusun helaihalai alunan pertikaian. Tanah memerah, air memerah, laut memerah… darah. Taka ada yang tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Secepat kilat, pedang berdenting karena pertemuannya dengan jenisnya. Seritmis hujan, ayunan kematian bertautan. Dan secepat itu pula sunyi… tak ada tangis, tak ada teriak. Sesunyi mata pedang yang bisu pada aliran darah.



Aroma tanah basah masih sangat menyengat ketika seorang pria dan anak lelakinya merajut langkah menyusuri ruas jalan setapak yang masih becek karena hujan semalam. Burungburung enggan berkicau sebab dingin pagi ini benarbenar menusuk. Bias mentari malumalu di sela rimbun dedaun yang masih basah oleh butirbutir jernih sisa hujan semalam. Pgi ini benarbenar sunyi, tak ada satupun manusia selain ayah dan anak itu yang melakukan aktifitas. Orangorang lebih memilih bermalasmalasan di tempat tidur atau duduk bengong di depan perapian. Tegap langkah kedua lelaki itu memecah kesunyian, menyusuri ruasruas jalan di pinggiran belantara. Tak ada yang bicara. Tak satu pun kalimat yang mampu menterjemahkan raut mka mereka. Tapi seolah mereka bercakap, lewat diam, lewat batin, sesekali mereka beradu pandang, saling bertanya melalui sorot mata. Langkah mereka semakin cepat ketika mereka sampai di bibir hutan dan berhenti di bawah pohon gaharu yang batangnya sangat besar.
“Apa kita sudah sampai?”
“Ya… di sinilah tempatnya”
Mereka kembali bercakapcakap lewat diam
Setelah berdiri mematung selama beberapa menit, entah berdoa atau membaca mantra, sang ayah mulai menggaruk, menggali dengan penuh semangat, hingga tak memperdulikan ketika beberapa kuku jarinya terlepas dan mengalir darah segar dari ujung jarinya. Sanga anak masih diam. Dia berdiri termangu tanpa berkata apapun. Dia hanya memperhatikan kelakuan ayahnya yang sejak beberapa jam yang lalu menggarukgaruk dan menggali tanah di bawah pohon gaharu raksasa itu.
Ayahnya seperti mencari sesuatu. Sesuatu yang sangat penting. Sangat penting bagi ayahnya, atau mngkin bagi mereka berdua, bahkan seluruh keluarganya.
Hampir tengah hari, dan mentari telah benarbenar menumpahkan jerangnya. Panas, sepanas kepala pria yang sejak pagi masih buta tadi menggali tanah di bibir hutan ini, tapi belum menemukan apapun. Dia kelihatan sangat letih, dan bersitan putus asa mulai terlihat dari garis wajahnya. Tapi dia belum berhenti, dia masih menggali. Dan sang anak masih terpaku dalam diamnya. Dia masih saja bertanyatanya tentang apa yang sedang dilakukan oleh ayahnya.
Tepat tengah hari ketika pria itu tibatiba menghentikan penggaliannya. Dia berdiri tegap memandang langit, matanya nyalang, tajam menusuk gumpalan awan. Lalu dia tertawa, terbahak, keras, semakin keras. Lalu dia diam, memandangi anaknya denganpandangan harimau. Tapi sang anak tetap diam tak bergeming.
“Aku sudah selesai anakku… Ternyata takdir ini memang harus terjadi.”
Lalu pria itu mengambil sesuatu dari tanah yang digalinya. Sebilah pedang, tajam mengkilap, kejam menghunus.
“Ingatlah baikbaik tempat ini anakku, sebab hanya dua kali dalam hidupmu kau akan dipanggil kemari. Seperti juga aku dan para leluhur kita.”
Lalu mereka berdua bergegas meninggalkan tempat itu.

***

Senja menelan mentari, memaksa pungguk untuk terjaga, dan malam mulai merayapi langit. Malam yang cerah, namun sunyi, seakan tersihir mantra kematian. Aroma dupa dan wangi kembang kematian menyebar, menyelubungi bibir hutan, jalanjalan, pucukpucuk ranting.
Dalam sekelebatan mata, sosok manusia berjalan. Pelan, tanpa suara. Dia menuju pinggiran hutan yang pagi tadi didatangi dua orang ayah dan anaknya. Dia berjalan pelan tanpa ekspresi, tak ada marah, tak ada sedih, tak ada tawa. Pada setiap langkahnya meninggalkan aroma dupa dan kembang kematian. Membungkam setiap mulut mahluk malam yang menghuni sudutsudut hutan. Bahkan lolong serigala pun tercekat bisu.
“Tampaknya dia sudah kemari” Gumamnya seperti menebak sesuatu
“Dan takdir harus di jawab”
Malam semakin larut dan mencekam ketika sosok lelaki itu sampai di bibir hutan. Tanpa bicara, tanpa hembusan, dia menghilang di bibir hutan itu. Hanya kilatan kecil cahaya yang mengiringi menghilangnya sosok lelaki itu. Seketika itu pula aroma dupa dan wangi kembang kematian sirna. Dan mulutmulut malam kini tak lagi terbungkam.

***

Awan menggulung, menggumpalkan kemarahan. Menghitam mengelam. Gelegar halilintar memecah hening, mengisyaratkan tantangan. Titiktitik hujan menghujam, membasahi setiap jengkal belantara. Dingin menyergap, beku, sebeku bongkahan hati jiwajiwa pendendam. Desau angina menusuk pengakuan, pada nasib, pada takdir. Hawa peperangan, ini hawa peperangan, dan harus dihirup, dirasakan, ditelan. Gelegar halilintar kembali bertalu, bersahutan, bagaikan riuh kendang pertempuran di medan pengakhiran. Setiap Tanya harus di jawab, setiap pemberian harus diterima, dan setiap takdir harus dijalani. Inilah saatnya, inilah waktunya untuk melanjutkan apa yang telah digariskan, dua pedang harus bertemu, dua nyawa harus melayang. Sejak kapan? Sampai kapan? Bukan permusuhan, sebab tak ada yang tahu siapa dan siapa. Tak ada kata sapaan antara siapa dan siapa. Tak ada pertemuan sebelumnya. Hanya pedang dan kematian yang mempertemukan mereka. Di satu tempat, di satu waktu, pada setiap generasi. Petir sebagai tanda, angina sebagai undangan, hujan sebagai pengiring, pada setiap kematian yang harus dijalani, dan ini harus terjadi.

***

Di sudut ruangan, seorang lelaki tegap berdiri. Dia menghitung waktu. Pedang telah disandang. Meneriakkan tantangan, haus sayatan, lapar darah. Dia berdiri mematung, mulutnya rapat terkatup, matanya tajam memandangi cermin. Dia mengingat sesuatu, untuk sesuatu. Bukan gentar yang dirasa, bukan pula takut, sebab dia tahu apa yang sedang terjadi. Lelaki itu hendak meninggalkan sesuatu, satu kata, tapi mulutnya tercekat, tak boleh mengucapkan kata itu, sebab tak ada gunanya, dia harus menjalani, demikian pula anak, cucu, dan generasigenerasi berikutnya. Sebab inilah takdir mereka, pada saatnya nanti.
Seorang anak memasuki ruangan, menghampiri ayahnya. Dia terheran dengan apa yang sedang dilakukan ayahnya.
“Ayah hendak kemana? Kenapa bawa pedang? Bukankah jaman sekarang orang lebih suka membunuh pakai pistol? Karena lebih cepat dan tidak menyakitkan…”
Ayahnya masih diam, tak bergeming. Dia masih memandangi cermin
“Apa ayah nanti tidak akan pulang lagi?”
“Anakku, apa kau merasa takut jika nanti ayah tidak pulang?”
Anak itu diam, bingung dengan pertanyaan ayahnya.
“Aku tahu, kau tidak pernah merasakan takut, kau mewarisi darahku, darah nenek moyang kita, darah pejuang, jiwa petarung sejati…”
“Jangan pernah menangis, sebab tangis haram bagi seorang petarung.”
Dia lalu mengajak anaknya duduk di ranjang. Dia bercerita kepada anaknya tentang peperangan, tentang pertarungan satu lawan satu dan harus di akhiri dengan kematian di kedua belah pihak. Hingga tak terasa malam telah larut dan anaknya telah terlena dalam lelapnya.
“Inilah saatnya, petir itu tandanya dan hembusan ini adalah teriak tantangan.”
Lelaki itu beranjak, mencium kening anaknya dan meninggalkan ruangan itu. Dia keluar berjalan menyusuri ruasruas jalansetapak, menuju satu tempat dimana telah ditentukan akhir dari semua tanya.
Langit semakin mengelam, petir semakin menggelegar bersahutan dengan denting suara pedang yang bertautan. Hembusan angina semakin kencang, menjelma badai, keras, semakin keras, tak ada teriak, tak ada tangis. Rintik hujan menjadi alunan pertarungan. Malam membeku, namun ganas membawa kematian. Petir semakin keras menggelegar, membahana di seluruh penjuru. Angina menjelma badai, mengguncang sisi jiwa pedang bertautan mencipta percikpercik kematian dan seketika sunyi. Semua berhenti, semua membisu, sebisu mata pedang yang kejam menusuk dada kedua lelaki yang terkapar di sudut dunianya masingmasing. Tak ada teriak, tak ada tangis. Tanah memerah, air memerah, sungai memerah, laut memerah, darah… tak ada tangis, tak ada teriak. Sesunyi mata pedang yang bisu pada aliran darah.
“Ingatlah baikbaik, sebab hanya dua kali dalam hidupmu kau akan dipanggil kemari… Saat kau mencabut pedang dari dada musuhmu, dan saat dadamu tertancap pedang milik musuhmu”

28.8.09

Korek Api dan Lalulalang Manusia Pagi

Mesin menderu
Satusatu Melintas
Orangorang pagi
Mengisi hari

Melintas dingin merapat asa
Mereka...
Memiliki jalanjalan kota
Masingmasing membagi
Sebagian bersih sebagian kotor
Sebagian rapi sebagian kusut
Sebagian wangi sebagian busuk
Sebagian jujur sebagian (besar) curang
Satusatu melintas
Menyerbu pagi
Untuk selesai
Di akhir waktu

Pagipagi dingin
Tapi tangantangan itu selalu terik
Pagipagi sepi
Tapi wajahwajah itu selalu riuh
Terdiam adalah sebuah pengalihan
Pada matamata memandang sebatang korek api
Kesepian....

Ronta

Lelah mentari merapat pada garis senja
Membangun merah pada sudut hari
Debur ombak dan cericit camar meningkahi laju sampan nelayan
Untuk merengkuh segala mimpi pada luas samudra

Kau...
Yang sejak dulu tak pernah keluh pada diam
Kini mulai meronta pada rangket nasib
Memaksa sampanmu terombangambing
Meski langit masih terjebak pada cerah musim

Kau teriak, kau melawan
Mencoba melempar segala asa dari rekat jejakmu
Melajukan sampan pada pulau tak berarah
Hingga karang menghempaskan segala amarah
Kau terlempar melompati takdir yang takkan tertulis
Dan aku...
Terpaksa melepas baju zirahku

27.8.09

Selembar Kertas Kosong

Saat ini hanya terlintas kekosongan dalam otak. Mungkin terlalu lelah setelah berpacu dengan segala keinginan dan ambisi untuk menguasai. Namun hanya kekecewaan yang kini menguasai batin dan membawa torehan luka yang mendalam ketika terlampui oleh bias pertikaian. Sungguh… seolah berusaha menolak takdir. Dengan dalih merasa sanggup merubah keadaan menjadi serba mungkin. Sejenak terfikir “bahwa kita hanya manusia”. Lantas jika kita manusia maka apa harus membatasi keinginan meraih langit? Tapi mengapa harus terkekang dengan segala cambuk malam yang mengusir bintangbintang untuk menari. Seharusnya biarkan saja seperti apa adanya. Namun “ada” ini justru menarik khayalan menjadikannya nyata. Lalu satusatu memisahkan diri dari diri. Mencoba membuat sendiri segala keinginan yang belum terwujud. Sungguh bagaikan selembar kertas kosong yang selalu menjadi kosong. Meski telah kutoreh berbagai coretan dan makian tapi tetap kosong…

Sepintas terfikir ingin bertanya mengapa… Sebab kupikir segala pasti ada sebab. Termasuk kosong. Namun pasti tak ada jawab sebab pasti akan kau sodorkan kosong untuk menutup kosong pada ruang otak kosong. Malang… memang sungguh malang perjalanan waktu di samping ku ini. Sebab selalu kusangkal keberadaannya untuk mengiringi langkahku. Aku tak ingin terbatas oleh pagar waktu. Selalu kusangkal dan kusangkal. Namun Akhirnya ragaku sendiri yang mengalahkan keangkuhanku untuk menyangkal sang waktu… Mengapa Tuhan harus memberi karunia rasa lelah, sementara aku masih merasa kekurangan waktu untuk mengisi segala keangkuhan dalam otakku…
Aku masih selalu merasa seperti kertas kosong … Aku masih selalu merasa tak tahu dan tak mampu melalukan sesuatu… Aku masih selalu merasa tak bisa… Aku masih selalu bodoh…


26.8.09

Kotak Kosong dan Sehelai Ilalang

Menari-nari disela lintasan gelap memekat mimpimimpi
Biarlah seperti adanya… kata sudut pilu itu kepada malam
Tak pernah berharap karena telah temaram matamata
Sehelai rindu memandang ruang tak pernah terbatas
Terduduk… pada pengakuan bisu seorang terluka
Sekali lagi…

Hanya pekatpekat yang terlintas pada benakbenak
Mereka meratap… Entah pada siapa
Hanya bisa tersenyum… Sebab kosong tak pernah bermuara
Terdiam sesekali saat barbagai makna terlontar
Pada sang waktu…mungkin…sebab aku tak tahu
Tak sanggup memberi ilusi
Biarkan saja… biarkan tetap kosong… Mungkin mereka tak sanggup

Dan sehelai ilalang tertiup angin semakin mengering
Tak mampu lagi menahan rintihannya pada tindihan lukaluka
Karena kosong menerpa perih tak terjawab… pada kotak kosong
Sunyi dan beku meracun harihari…
Aku kembali hanya bisa terdiam…
Melihat…
Kotak kosong dan sehelai ilalang
Kesepian…

Bulan Hujan dan Perempuan di Sudut Taman

Bulan hujan, kekasih...
Aku belum juga terlelap
Ketakutanku akan jawaban semakin menuntutku untuk lontarkan tanya
Kau masih saja bersiul
Sementara pisaupisau tajam menghunus kata
Bulan hujan, kekasih...
Aku di sini masih saja memeluk rembulan
Bintangbintang mengutukku
Tapi aku akan tetap di sini
Selalu di sini...
Untuk menari...

Bulan hujan, kekasih...
Dan gemerlap rembulan mampu membius relung pertikaian
Aku akan selalu datang
Membawamu merajut bintangbintang
Bulan hujan, kekasih...
Jangan pernah takut akan matahari
Meski sinarnya tajam menghujam
Kita akan berpayung anyamanyam cirrus
Bulan hujan, kekasih...
Bahkan cericit camar iri akan kisah ini...

Bulan hujan, kekasih...
Hadirku kini bukan untuk mengutuk sang hari
Hadirku kini hanya untuk melukis wajahmu
Di kanvas langit dengan gemintang dan taburan sinar rembulan
Bulan hujan, kekasih...
Benarkah kau akan datang
Seperti janji malam pada siang
Purnama ini seperti saat itu
Kau pasti akan datang
Saat cumulus menyergap butir bintangbintang
Aku akan menunggumu menyalami purnama
Meniup sisasisa rindu
Bulan hujan, kekasih...
Aku akan terus menari menjejaki takdir
Aku akan terus menari untuk menunggumu...

Bulan hujan, kekasih...
Temaram rembulan kini enggan bercanda
Sebab dia lelah... sangat lelah...
Memacu bingkaibingkai malam
Mendendang rindu pada garisgaris mimpi
Bulan juhan, kekasih...
Kutunggu kau mengoles jejak
Di sini...
Selalu di sini...

Bulan hujan, kekasih...
Mengecap harihari semakin membawa inginku untuk membasuh wajahmu
Langkahlangkah ini membiru
Membawa titik akhir pada pertikaian
Apa kau masih di sini
Memeluk rembulan dalam redup kabut
Sayu wajah menghias kelam
Mendendang syair pada malammalam bulan hujan
Bulan hujan, kekasih...
Kubunuh ragu untuk berdatang
Menjawab rindu dalam teriak serdadu
Selalu kubawa detikdetik darimu
Untuk dihenti oleh satunya kita

Bulan hujan, kekasih...
Jejakmu yang dulu kau tinggal
Kini semakin memudar di telan kabut
Garisgaris mimpi semakin berpendar
Tapi aku masih menari
Menari untuk memapas rindu
Bulan hujan, kekasih...
Aku masih terus menari
Meski laras senapan telah hentikan detikmu
Sebab masih terus kuyakin
Bahwa pada tujuh purnama bulan hujan kau akan selalu datang

Bulan hujan, kekasih...
Telah bungkam teriak itu
Oleh ujungujung tombak
Meredup sudah bintang dan bulan
Tapi aku akan tetap menari
Pada malammalam bulan hujan
Untuk selalu menyambut hadirmu
Merebut mimpimimpi anakanak beringus...

Deja Vu

Masihkah kau di sana memikirkanku
Atau malah kau coba mencuci sisasisa goresan penaku yang telah mengotori tirai kamarmu
Aku masih saja terkekang dalam ruangan tak berpintu ini
Masih mencoba mengukir aroma wangimu dulu
Pernah kau tinggalkan di permukaan otakku
Jujur saja aku merasa hampir kehilanganmu
Meskipun aku sadar bahwa aku belum pernah memilikimu

Lelapkan saja agar aku tak pernah sempat mencuri mimpimu
Bagiku cukup secawan arak saja
Aku sudah bosan memaksa otakku bermimpi
Sebab inilah mimpi, segalanya mimpi
Dan aku tak pernah merasa terbangun
Untuk bercerita kepadamu atau kepada siapapun

Lebih baik sekarang kubiarkan saja engkau dengan segala inginmu
Dan aku cukup memandangimu sambil bersiul
Lalu memutar sebuah lagu yang dulu biasa kita dengar bersama
Sayang sekali, penaku sudah hampir patah
Padahal sajak ini belum selesai

Kepada Seseorang

Langkahku terhenti seketika
Saat geliat tubuhmu menyapa rayuan angin
Menampar angkuhnya debur
Pada hamparan membiru luas

Langkah mulut tercekat patah
Ketika teriak pandangmu membakar sejuk aroma embunembun
Tanahtanah basah darah menyerap kering rerasa duka
Memburu naif gejolak birahi...

Kepada seseorang kubisikkan cinta tanpa katakata

25.8.09

Lelaki Tak Pernah Menyesal

Beberapa hari yang lalu aku melihatnya masih menghitung kesempatan demi kesempatan
Tak juga ada sapaan yang sanggup menggantikan layu langkahnya
Seperti lenggak-lenggok ilalang yang diterpa hembusan di belakang rumahnya
Tapi dia masih membayangkan rentetan takdir yang mungkin atau tak mungkin bisa dia baca
Harapannya melayang bersama nyaring suara sirine ambulan yang memecah setiap lamunan
Melintas begitu cepat seakan ketakutan melihat hidup yang semakin tak jelas
Aku mencoba memahami setiap perkataan yang pernah dia ucapkan
Tapi hanya beberapa celoteh yang sempat menyumbat nafasku
"Tuan, kau kelihatan semakin renta..."
Begitu katanya
Dan aku hanya tersenyum lalu memaki dalam hati
"Baumu tak lebih harum dari tai kucing!!!"
Selanjutnya kau bakar cerutu yang tinggal setengah pemberian tuanmu kemarin
"Ah... betapa hidup bagaikan sebatang rokok"
Aku tak mungkin tahu maksudnya
Karena dia hanya bicara pada dirinya sendiri
Baiklah... Aku akan membiarkannya menikmati hidupnya yang tinggal separo
Aku cukup melihatnya...
Siapa tahu aku punya kesempatan mencuri sedikit darinya

23.8.09

Mimpi (ku) Binasa

Untuk siapa aku harus menulis puisi
Ketika semua makna selalu membinasakan mimpi-mimpi
Bukankah mereka tak pernah lelah untuk bermain?
Sungguh senyumanmu sanggup biaskan semua warna
Dalam pertempuran pikiran dan kenyataan yang menjemukan

Tak perlu lagi merangkai letupan khayalan
Karena semua telah tersusun
Dan siap mengunjungi setiap malam
Sanggupkah???
Lantas untuk apa…
Toh semua juga masih seperti biasanya
Mungkin sekarang saatnya tertawa
Dan berdarah-darah
Mengapa? (hanya itu)

Tak perlu lagi memahami
Atau mencoba menarik sebuah kesimpulan
Sebab semua ini maya
Hanya saja sakitnya memang nyata
Sudahlah biarkan saja
Sebaiknya mencoba menari saja untuk merayu rembulan
Mungkin sedikit melacurkan senyum
Untuk menarik perhatiannya

Sampaikah?
Pada ujung kenyataan
Selanjutnya torehkan beberapa warna (lagi)
Sebab sebelumnya hanya hitam dan biru
Lantas???

Tak pantas meminta
Merasa hina
Pada siapa?
Sekali lagi…
Lelah ini selalu menghantui
Dan kita…
Lagi-lagi kehabisan waktu


19.8.09

Meraba Tiada

sombong
meracun diri
sudi (kah)?
tapi Tuhan tak pernah lupa
memang
tapi tak mampu menerima

jatuh
pasti
tapi tak pernah sakit
sebab masih terlena
aku meraba
pada tiada

berharap
kembali berdiri
mampukah?
mungkin
sekarang atau nanti
sebaiknya merebah dulu
agar tertata
hati
jiwa
asa
jalan

13.8.09

Mungkin II

; sejenak ingin melupakan rasa ragu

Adakah kata selain “mungkin” untuk mengungkapkan tatapan itu?
Beberapa waktu yang lalu aku masih sempat melukis jejakmu dalam jengkal perjalananku
Karena memang mungkin aku tak pernah meragu pada langkah beku ini
Mungkin memang inilah perubahan yang harus ku hadapi ketika mentari tak lagi kejam menusukkan teriknya
Mungkin saja… sebab mungkin aku telah kehilangan imaji pada rintik gerimis itu
Atau mungkin… aku tak sanggup lagi melihat “kemungkinan” pada setiap perubahan hari-hari…

Apa mungkin aku bisa melupakan keraguan pada tatapan rembulan itu?
Apa mungkin juga “kemungkinan” lain dapat menghapus rasa ragu itu?
Tapi terlanjur terlupa pada khayalan yang memungkinkan aku dapat menemukan pemaknaan
Pada “mungkin”…
Aku sakit… sungguh tersiksa dengan sebuah kata “mungkin”
Karena semua maya… dan hanya kata itu yang selalu menjejali otakku

Lagi-lagi harus berhadapan dengan “kemungkinan”
Ketika aku harus mengakhiri cerita ini
Tapi aku sudah terlalu lelah untuk berfikir
Atau mungkin… aku telah kehilangan “kemungkinan”
Mungkin…
Masih adakah daya untuk menciptakan “kemungkinan”?
Mungkin…
Mungkin juga tidak…
Semua adalah “mungkin”
Lelah…

29.7.09

MERAPI (bias luka)

perisai malam selalu tusukkan perih
saat kucoba meraih ujung jalan mu untuk mencumbu api pada puncakmu yang beku
ini malam kekasih... ingatlah itu
sebab kau selalu bicara tentang matahari yang tak pernah bosan torehkan lara
sabarlah... tak ada jalan yang tak berakhir...
rembulan? jangan dulu kau tanyakan itu
lebih baik kita bicarakan saja tentang tujuan...

merayapi runcing batu ini seakan membawa kembali jiwaku yang telah lama pergi
aku benar-benar rindu kisah ini...
sayang kau tak sempat menemaniku
tak apa... setidaknya aku masih sempat melihat bayangmu di balik bias malam
sedang menulis sesuatu tentang perjalananku ini...
lanjutkan saja, jika memang itu yang kau inginkan
aku akan tetap mencumbu batu-batu ini
agar dapat kutorehkan pula namamu pada geliat malam yang semakin membeku

pagi...
mencoba untuk kembali menyusun bayang mu yang semalam sempat tercecer
terasa semakin dekat...
tak sabar aku untuk mengejarmu di atas langit itu
merah yang kian membiru...
kau menungguku... kulihat itu...
duduk tersenyum diatas kokohnya batu puncak garuda
aku akan segera datang...
tunggulah... sebentar lagi kita akan menulis kisah bersama...
pada bias luka...

26.7.09

Terima Kasih Kau Selalu Menungguku

terima kasih kau telah sabar menungguku
setelah lelah ku berjalan melintasi mimpi demi mimpi
mencoba mencari jejak hujan yang sedari dulu selalu tinggalkan perih
sebab ingin kumaki matahari yang tak pernah mampu keringkan lukaku
hanya rembulan.... yang selalu sanggup biaskan duka

malam... tak pernah usai taburkan sunyi
tak pernah lelah nyanyikan beku
selalu...hanya itu...
karena aku masih terjebak...
masih... di sini...
berdiri... meragu...

aku selalu takut pada lelap
sebab kau tak pernah mendatangiku dalam tidurku
sungguh aku merindu...
tapi bukan itu... kau yang selalu di sini tapi tak pernah untukku
selalu ragu... sebab luka itu...
tak pernah kering...

mungkin kau telah mulai mengerti
mengapa aku tak pernah mampu untuk tancapkan tongkat
sebab masa lalu selalu menghantuiku
pun juga masa depan yang terlalu mengerikan untuk di hadapi
bukan meragu padamu...
tapi pada diriku...
selalu...
kuharap kau mampu untuk tetap mengerti
kau akan selalu mampu untuk meraih rembulan
tapi bukan aku...
mungkin...
semoga tidak...

terima kasih kau selalu menungguku
tapi ada mu masih dalam bayang maya

15.7.09

Jangan Meratap. Karena Dia Tuli Dan Buta

Aku mencoba lagi untuk menatap matamu
Sungguh bukanlah sebuah tusukan yang menyakitkan
Sebab sempat kulihat rembulan sembunyi disana
Dan kau pun sempat mengakuinya
Meskipun hanya melalui tamparan yang sampai sekarang masih tersisa bekasnya
Kau katakan padaku bahwa aku telah membunuh satu musim
Dan itu membuatmu kehilangan kesempatan untuk merapatkan kesempatan
Tak akan mungkin kita berhenti pada satu titik
Dan kau pun mulai memaki
"Coba saja seandainya kau hidup sekarang!!!"
"Mulutmu takkan mungkin mampu lontarkan kesombongan itu"
Dan kau pun menangis
Entah menangisi siapa atau apa
Sementara deru kehidupan semakin dekat mencumbu kematian
Adaku karena aku dan aku akan menyadarinya
Bukan kau, bukan pula dia...
Dasar pelacur!!!! Malam pun kau rayu untuk menjadi siang
Sayap-sayapmu beraroma alkohol
Dan malaikat itu pun terbang entah kemana
Semua nama kini tak ada bedanya
Dosa dan pahala pun lebur mengepul menjelma asap mariyuana
Sayang... Mari kita segera pergi
Sebab tempat ini penuh kemunafikan...

Catatan Kecil Sebelum Kencing

Kau mendorong, kau mendesak, kau meronta
memintaku segera membuka gerbang untuk membebaskanmu
Kau katakan padaku bahwa aku terlalu lama menjeratmu dalam kebohongan
Dan semakin lama semakin membuatmu jijik untuk menjadi bagian dari diriku
Kau telah memutuskan bahwa kau harus segera memulai perjalanan baru
Sebuah dunia baru yang menjanjikan kebebasan
Pada pikiranmu dan juga kebusukanmu
Kau tersenyum melihatku meringis kesakitan
"dasar bodoh!!! kenapa tidak segera kau lakukan saja!!!"
Begitu katamu nyaring di telingaku
Baiklah jika kau ingin melawanku
Sekali ini aku akan mencobanya
Siapa tahu ada masalah baru yang harus kita pecahkan bersama
Aku bukan pencari masalah
Tapi aku akan lebih bahagia jika menemukan masalah
Karena itu membuatmu lebih dekat denganku
Dan aku akan merasa bahagia
Apa yang telah kukatakan...?
Terlalu banyak basa-basi yang kita lontarkan
Sudahlah... Lebih baik aku ke toilet sekarang

Rembulan di Sudut Senyuman

Mungkin aku akan kembali tersesat
Ketika langkah mulai ragu pada persimpangan
Tak satu pun petunjuk itu mampu ku baca
Yang kulihat hanya rembulan sembunyi di sudut senyummu
Tapi itu pun masih kuragukan
Benarkah itu rembulan kemarin
Atau hanya bayang maya kisah silam

Semakin kutunggu, rasa sakit ini semakin menjadi
Luka yang sengaja kutoreh sendiri
Ketika kucoba menempatkan rembulan padamu
Sungguh sebuah kepahitan yang indah
Dan mungkin kau tak tahu apa yang terjadi padaku

Aku tak yakin sekuat apa ku mampu bertahan
Meski ribuan puisi kucoba bangun bentengi langkah-langkah
Kuharap kau tak pernah membacanya
Sebab ku tak ingin kau ikut merasa sakit
Dan biarkan saja bayang rembulan tetap di sana
Tetap terpatri di sudut senyummu
Dan aku cukup melukiskan saja dalam mimpi
Meski kadang ku harus kembali kehilangan jiwaku

10.7.09

Catatan Dari Lereng Lawu

kau melumat senyum mencoba membakar keringnya udara pagi...
menjejakkan harapan pada tiap jengkal perjalanan
tapak demi tapak tak kunjung usai uraikan makna
pada beku, pada kabut, pada matahari...
masih merangkai persoalan demi persoalan yang coba mereka tumpahkan bersama
di sini....

aku tertegun melihat hamparan tak pernah usai itu
di sana pernah ku toreh kisah tentang dirimu
masih belum berubah
hanya cerita yang selalu berubah
sebab bukan hanya aku yang telah selesai mencumbu beku batu itu
di sini....

selanjutnya akan kurunut kembali kisah pada puncak
di sana aku selalu menemukan dirimu...

5.7.09

Himpitan Hari-Hari 5

; Senyum Beku - Pulang

Aku sudah kembali
Kuharap kau merindukanku
Meski dengan segala umpatan dan makian
Tapi itulah yang sebenarnya kuharapkan
Bukan sekedar kemolekan tubuhmu
Dan busuk nafas karena arak

Asal kau tahu...
Sesungguhnya aku tak bisa jauh darimu
Tiap kali kucoba untuk lari
Selalu saja langkahku akan kembali padamu
Aku tak menyesalinya...
Sebab mungkin ini takdir
(atau mungkin kutukan)
Asal kita percaya itu sudah cukup
Kuharap kau juga setuju denganku

Lupakan saja kisah kemarin
Mari kita coba melukis matahari
Agar dapat menghangatkan senyummu yang beku
Tak perlu berharap lagi datangnya rembulan
Karena rembulan itu sudah direbut mimpi anak-anak kecil

Lalu bagaimana dengan himpitan hari-hari itu...???
Apa kau juga masih memikirkannya...?
Bagiku sudah larut bersama keringat yang tumpah saat aku mengejarmu
Tapi apapun yang kau rasakan
Aku selalu bersedia untuk berbagi rasa
Setidaknya aku masih punya air mata...

Himpitan Hari-Hari 4

; Secangkir Kopi di Ujung Pagi

Ketika ku bangun kulihat kau membuka pintu ruangan ini
Lalu menata kembali lembaran-lembaran yang telah kuacak-acak semalam
Kau tidak bicara, dan aku pun enggan menyapa
Tapi sorot matamu mengatakan bahwa kau telah membunuh rembulan semalam
Aku tak peduli, toh aku telah menemukan beberapa bintang di seberang mimpiku
Kini tinggal bisa atau tidak aku menjaring bintang-bintang itu

Kau tawarkan kopi, tapi aku enggan meminumnya
Sebab mulutku masih busuk karena arak semalam
Tubuhku pun masih malas bergerak
Aku hanya ingin duduk dan diam beberapa saat
Lalu membakar rokok dan segera ke kamar mandi
di sana akan kucoba menyusun kembali kisah semalam
Paling tidak saat aku bersamamu memaki tirai langit

Sejenak aku berfikir, apakah hari ini aku akan kembali terjebak di pelataran waktu...
Tapi jika aku tidak melangkah, maka selesai sudah kisah ini
Sesungguhnya aku tak ingin terkekang dalam khayalan
Tapi tak ada yang dapat kulakukan
Selain berjalan dan terus berjalan
Meskipun tak pernah ada tujuan yang benar-benar pasti

Apa sebaiknya aku akhiri saja?
Tapi bingkai-bingkai masih tenggelam di dasar kolam
Meskipun kosong, tanpa secoret pun warna di dalamnya
Atau aku mulai lagi dengan kisah baru?
Meskipun cerita sebelumnya belum selesai
Tapi, bukankah akhir cerita tidaklah terlalu penting??
(paling tidak menurutku)
Baiklah... aku turuti saja kemauanmu
Aku masih punya sisa-sisa kertas
Mungkin kau juga ingin ikut bercerita...
Atau lebih baik kita pulang saja...

Himpitan Hari-Hari 3

; Merajut Mimpi

Sebenarnya aku ingin melanjutkan cerita ini
Tapi aku sudah terlanjur kelelahan
Dan mata ini benar-benar telah rubuh oleh kantuk
Sebab telah kususuri setiap sudut kota
Sekedar mencari ketenangan
Dan menangkap rembulan yang sedari tadi sembunyi

Akhirnya jalan terakhir pun kutempuh
Kembali ke awal aku mengenal dirimu
Tetapi ini pun tidak terlalu buruk
Sebab aku bisa menjalin kilas balik
Pada kisah yang telah kita ciptakan bersama
Pula dapat kuingat kembali sketsa wajahmu
Yang hampir kabur terhapus kembaraku

Kudapati ruangan ini masih seperti dulu
Setidaknya warna cat yang tidak berubah
Dan beberapa coretanku di dinding bagian dalam
Masih dengan sombong berteriak melawan murkamu
Engkau benar-benar masih sabar menunggu
(dan akhirnya aku pulang juga)

Kau tanyakan kabar... Mungkin sekedar basa-basi
Lalu menyambutku dengan pelukan hangat... (meski menyakitkan)
Aku katakan saja bahwa aku ingin istirahat
Sebab rembulan yang kucari tak juga kutemukan
Mungkin ikut terbuang di tempat sampah
Saat aku ingin membuang lembar-lembar basi
Yang ingin ku tulis cerita tapi tak jadi

Tak perlu banyak bicara
Aku sudah terlalu boros dengan kata-kata
Ingin segera ku bungkam khayalanku
Dan segera merebah lupakan hari ini
Lalu bangun pagi-pagi dan minum kopi
Maukah kau menemaniku?

Himpitan Hari-Hari 2

; Sketsa Malam

Padahal lampu itu telah benar-benar menyala sempurna
Rokok di kantongku pun kini tinggal sebatang
Tapi sisa malam masih sejauh pandang
Dan aku masih terus menghitung butir bintang yang tak tampak
Derai tawa rembulan menghina seruku yang bungkam
Malam ini tak ada hujan...
Biarlah... Sebab tak kuharap segera berlalu
Meski beku... lagi-lagi beku yang kurasa
Memang inilah yang bisa
sudahlah... Lepaskan saja topi dan jaketmu
Kita duduk bersama dan berbagi rasa
Pada segelas arak dan sebatang rokok
Lalu segera beradu tawa di sela boulevard
Sambil berfikir tentang alasan
Alasan apapun, pada apapun, atau siapapun...
Sebenarnya kita telah jauh melangkah
Dan setumpuk kertas takkan cukup menceritakan
Karena itu aku takkan mengingat
Cukuplah merasakan atau segera memutuskan
Seperti menyusun mozaik di jendela langit
Jika tak mampu menyelesaikan, hentikan saja sampai di sini
Dan aku akan segera pulang dan menangis di pangkuan ibuku
Tertawalah, karena aku sudah kehabisan tenaga
Takkan ku protes karena itu keinginanmu
Dan lihatlah malaikat di atas sana juga ikut tersenyum
Tentang hari esok janganlah kau cemaskan
Aku masih punya beberapa rupiah untuk membeli rokok

Setelah kita selesai dengan apapun yang terjadi
Mari bersama-sama kita membakar malam
Agar bintang di atas sana segera menyingkir
Dan menyisakan tempat untuk berbaring
Akan kubiarkan kau terlelap lebih dulu
Sebab aku masih ingin melukis malam
Pada kanvas hitam dengan tinta hitam pula
Karena memang sesungguhnya tak ada apapun untuk melukis dan dilukis
Baiklah... lanjutkan saja
Sekarang tak ada apapun yang menghalangi
Dan aku siap membungkus kisah ini
Ke dalam tas yang selalu kubawa kemanapun aku pergi...

Himpitan Hari-Hari 1

; Siluet Senja

Sejak kapan kau jadi orang yang pendiam
Hari ini kita bertemu, itu sudah cukup
Bicaralah... Meskipun hanya sepatah kata...
Dan bayangan di balik cakrawala itu akan segera menyingkir
Aku sudah berada di sini...
Dan aku takkan pergi lagi
Mari kita mengarungi malam
Tanpa penghianatan di balik cumbuan tangismu

Kau bilang di sini saja?
Baiklah, aku akan menemanimu
Sampai bosan kau memikirkan langkah kita
Takkan ada cahaya matahari...percayalah...
Hanya sepotong rembulan dan beberapa butir bintang

Kenapa harus takut?
Bukankah kita hanya sekedar menjalani
Tak ada pintu yang tak bisa dibuka
Aku akan segera membawamu pergi
Ke puncak gedung itu
Di atas sana kita akan memulai sebuah cerita

Jika kau masih ragu, aku takkan memaksa
Hari masih senja, dan kau masih bisa memikirkan kembali
Apa kita akan mencoba kisah baru
Atau cukup dengan himpitan hari-hari lalu
Tapi sepasang bayangan mulai tampak
Dibalik tipis awan tersorot cahaya rembulan
Siluet senja baru saja menawarkan angan
Pada kita yang saat ini sedang mencoba
Mencoba...? Kata itu tampaknya akan sangat bermakna
Mari kita ingat bersama...
Tapi sebelumnya hendaklah kita sadari
Bahwa waktu kita hanya semalam
Dan kita belum mulai melangkah...

Sebuah Catatan Kaki

(pada dinginnya pagi)

Untuk ke sekian kalinya kukirimkan puisi untukmu
Tapi kali ini kusertakan jasadku yang membeku
Sebab dulu dan kini...
Selalu sebongkah es kau balaskan padaku
Mengutuk hari-hari...
Karena kecurangannya memanjakan kencing di ujung pagi

Kemeritik bara rokok memecah keheningan ruang
Anganku memburu sisa-sisa pembantaian
Di dasar lubang klosed...

Pelan dan sayup alunan "Paint the Sky With Stars" milik Enya membangkitkan kecemburuan pada sesosok perempuan
Perempuan itu...
Dia yang biasa menampar imajinasiku dengan lukisan bintang-bintangnya...
Selalu mencuri anganku untuk diasingkan di ujung bukit
"Lihatlah bintang-bintang itu...!!" teriaknya

Sebuah catatan kaki di pagi hari
Ternyata cukup menyesatkan arah mimpiku
Hingga di batas angan tiba-tiba...
Tiit-tiit tiit-tiit.... Seseorang mengirim SMS...

Dendam

Dari kejauhan kudengar kau berteriak
Memaki dan menghujat kedatanganku
Tapi aku kini benar-benar tak peduli
Dengan amarah ataupun kebencianmu padaku
Aku masih saja melangkah
Mencoba untuk kembali meruntut sejarah
Pada rumah dan jalan pulang

Dulu aku memang seorang pecundang
Hanya mampu lari meninggalkanmu dalam derap derita
Karena aku memang benar-benar telah bosan
Setiap hari hanya memenggal kepala-kepala
Juga menyirami bunga-bunga yang kau tanam... dengan darah
Aku sendiri juga ingin menguliti bangkai itu!!!
Tapi kau lebih dulu telah membakarnya dengan sorot matamu

Kini kulihat kau telah mengacungkan golok itu padaku
Mengancam untuk memenggal kepalaku
Tapi aku tetap tidak akan menghentikan langkahku
Sebab rembulan malam ini telah sempurna melebarkan senyumnya
Dan tanah yang kujejak pun semakin mengeras

Ketika ku sampai segera kutumbukkan mataku pada sorot matamu
Hingga kau benar-benar tak mampu bergerak...
Lolongan marahmu kini benar-benar telah tercekat
Dan segera kuhamburkan segala pelukku
Padamu yang baru saja kutanami sebutir peluru tepat di antara kedua matamu

3.7.09

Ini Bukan Malam yang Kejam

Baru saja kau katakan padaku
Bahwa malam ini kau enggan menari
Sebab hujan malas untuk menumpahkan teriaknya
Hingga aku harus kembali sendirian
Untuk mengangkat rembulan dari bawah kakimu

Lalu kembali kau bisikkan ke lubang telingaku
Jika gelas itu kembali terisi
Maka kau akan segera mengencingi mataku
Entahlah, aku sendiri juga tak ingin membantah
Ketika sebatang rokok kau selipkan diantara jarimu
Lalu aku kembali menganyam sisa-sisa sinar rembulan
Yang tertinggal di balik bajumu yang kumal itu

Masih adakah anggapan bahwa kau tak pernah mengenalku?
Jangan kau tanya siapa yang menberikan korek api ini
sebab hal itu tidak terlalu penting
kau cukup menemaniku menghitung bintang-bintang
Sampai habis sadarku dan habis pula sadarmu
Lalu bersama-sama kita letakkan di atas meja kaca
Yang telah kau tumpahi dengan racun tikus...

Aku takkan pergi dari sini
Dan kuharap kau sudi menulis puisi untukku
Aku benar-benar telah rindu untuk kau maki
Jangan bilang bahwa kau telah kehabisan kata-kata
Sebab baru saja kutemukan khayalan di balik celana dalammu

Baiklah jika memang kau ingin cerita
Aku akan setia mendengarnya
Lalu akan kupeluk dan kuciumi matamu
Dan setelah itu aku akan segera melemparmu keluar

Jangan dulu berhenti
Waktu kita masih panjang untuk bercumbu
Dan aku masih ingin menggambar sketsa wajahmu
Pada selembar kain yang penuh noda darah...

Lagu Tanpa Akhir

Bagaimana mungkin dapat kubuka pintu yang lain
Jika sekarang kau masih menahanku di sini
Dan kulihat kau tetap menari di kamar mandi

Masih wajarkah bersabar
Ketika meja ini penuh kertas berserakan
Semuanya berisi puisi yang tak pernah selesai

Aku takkan meninggalkanmu
Tapi setidaknya ijinkan aku memotong rumput di halaman
Agar dapat kita tanami dengan bunga
Kini kau malah menjeratku dengan teriakmu
Tahukah kau bahwa aku benar-benar telah bosan dengan lagu ini...
Lagu yang tak pernah ada akhirnya...

Satu Lagi

Kucoba kembali merajut langkah
Yang beberapa hari kemarin terhenti oleh kebisuan detik-detik
Tapi lagi-lagi sebongkah khayalan melemparku dari kerumunan kata-kata
Memaksa untuk menjawab tanya yang belum pernah terucap

Mungkin ini yang disebut keterpakuan
Ketika aku tersesat di antara asap rokok yang mengepul dari moncong bibirku
Mungkinkah Tuhan akan datang ketika kita dalam kesendirian?
Tapi aku belum ingin bertemu dengan-Nya
Sebab aku belum mampu membeli baju bagus dan minyak wangi

Lantas apa yang hendak kulakukan sekarang?
Apa aku harus kembali membenamkan mukaku di atas bantal...
Mata ini telah letih dengan kebetahan tidur
Lebih baik aku kembali membakar rokok dan menyeduh secangkir kopi...
Lalu mencoba menulis puisi...

Jika Ini Adalah Akhir

Kembali ingin kujaring rembulan
Ketika kurasa hidup semakin renta
Meski penjara rasa telah mengekang nurani
Dan kau akan segera berkata :
“Hai… bukankah aroma tanah basah begitu merindukan…?”

Lalu bisik mentari mengeja perjalanan
Perawan suci tak lagi torehkan pilu pada geliat zaman
Namun bukankah retakan telah mengukir kisah…
Obituari malam tak kunjung usai
Mari kita sandarkan tongkat dan segera menari

Kulihat kau di sana sedang termenung
Melihat awan yang tak mau bergerak
Lalu mengambil selembar daun untuk kau tulisi sebuah puisi
Ketika kucoba menyapa, kau malah tertawa
”Jangan kau bicarakan kisah percintaan kita…
Sebab aku sudah terlanjur menulis puisi”

Aku masih tak habis pikir
Mengapa ceritamu dulu tak pernah kau selesaikan
Sedangkan aku telah siapkan medan pertempuran
Untuk tumpahkan segala rindu

Kini aku hanya bias membaca senyummu
Tanpa bias merasakan hangatnya
Aku tak tahu…
Apakah aku harus menyesal…

Sekali lagi aku kembali terlempar

Memang bukan yang pertama..
Tapi sakit yang dulu sudah terlanjur terlupa
Aku kembali terlempar

Menghujam...Kejam...

Tertinggal...Jauh....

Kau tertawa...Gila...

Aku meradang...
Tak sanggup memandang...
Dan rembulan merayap...Pekat...

Tak ada jalan...
Semua terhempas menjadi butiran mimpi..
Aku lupa menulis...
Sudah terlanjur...
Maaf...

Harus kuhadapi...
Sanggupkah...
Kini harus kulalui malam-malam dengan cumbuan bimbang...

"kembali melacurkan senyum"

1.7.09

Aku Rindu Menari Sendiri

sedikit tersentak ketika mendengar itu
bukan karena kabar yang kudengar
karena memang telah lama aku menduga
tapi karena memikirkan gerakan berikutnya

aku merasa tak sanggup lagi menari
yang sebelumnya kau anggap tak cukup indah bagimu
entah memang aku sungguh tak bisa menari
atau karena kau masih terhimpit beban gerak-gerak
atau mungkin...
kau terlalu takut aku akan menguasai semua tarianmu...

masih bimbang....

agak takut....

mencari...

belum kutemukan...

semoga rembulanku mengerti gerak patahku
karena ku butuh dia untuk menuntun gerakanku...
selanjutnya...

kucari lagi...

pening...

lebih baik aku tak usah berfikir...
karena pikiran ini menghujam dengan tajam
menusuk penuh dendam...

lebih baik mencumbu rembulan saja
karena inilah satu-satunya pengobat sakit
penawar pahit...

tentang tarian...
mungkin lebih baik kuciptakan sendiri saja
entah kapan...

30.6.09

Wajah Kota

; dalam laju mimpi

Lelaki tak bernama mencoba menghitung mimpi
Dalam pekat rembulan di sudut penghampiran
Dalam ruang tak berbatas di antara tatapan tajam para pemuja ketiadaan
Di bawah perlindungan sebuah alibi
Bahwa inilah realita yang harus dihadapi bersama
Bahwa inilah wajah sebuah kota religius
Tak kunjung usai membangun peradaban
Di atas pondasi firman-firman
Dan semua ini adalah alasan sebuah pemakluman

Tak pernah menuai lelah nafasmu memburu
Pada kepalsuan sejarah kerajaan masa lalu
Kejayaannya yang hampir tak bersisa
Masih sempat dicuri kepentingan demi kepentingan
Hanya sisa aura yang masih sanggup warnakan cerah
Hanya itulah yang masih bisa berikan nafas

Mungkin sekarang saatnya lantunkan kembali kidung kinasih
Pada tiap sisi dan sudut peradaban
Agar tak lagi terus melangkah dalam mimpi
Dan lelaki linglung itu segera dapatkan panggilan
Mungkin…

Tapi kapan…?
Akankah terwujud jika hingga saat ini
Kita masih saja asyik nongkrong
Sembari bermain gitar nyanyikan lagu mimpi
Sudah saatnya kita bangun dan menjerat rembulan

29.6.09

MUNGKIN

Masih mungkin...
Selalu masih mungkin
menjadikan sesuatu dengan mungkin
melakukan sesuatu dengan mungkin
karena mungkin kita akan selalu melihat sesuatu dengan mungkin

masih dengan mungkin...
Kita merasa bahwa setiap keadaan adalah mungkin
bukankah kita masih disini?
Menjejak tanah dan melukis air
dengan mungkin...Atau tak mungkin?
Tapi disana kau masih saja memikirkanku
dengan mungkin...
Ada atau tiada

Sudahlah...
Mungkin ini hanya kebetulan
sebab daun dedepan jendela itu telah mengering
mungkin...Aku takkan pernah bertemu denganmu
sebab mungkin, aku takkan pernah menulisi daun itu
dengan segala kemungkinan

tapi masih bolehkah berharap?
Untuk tetap memegang teralis yang berkarat ini
sebab hari ini masih ada mungkin
sebelum besok atau lusa atau seterusnya
kita kehilangan kemungkinan...

Senandung Rembulan

; Tak Pernah Lelah

Bicaralah padaku, aku takkan kemana-mana
Dan bidadari di atas sana yang telah letih menari akan segera tersenyum
Kau telah merapatkan tubuhmu pada geliat cahayanya
Dan aku masih ragu pada pandanganku sendiri
Sebab beribu langkah telah terajut
Hanya sekedar untuk melukis sketsa malam
Namun senandung rindu tak juga temukan bayang masa silam

Selanjutnya kau berbisik;
“Sempurnakan hasrat dan nada akan tersusun.
Kau dan aku hanya domba tersesat.
Maka lebih baik kita nyanyikan saja…”

Sayang aku tak pernah sempat membaca mimpimu
Karna aku selalu terlelap lebih dulu sebelum terselimut rembulan; hampa

Pada malam yang tak pernah lelah uraikan pedih
Kembali kau senandungkan mantra penakluk sukma
Dan hanya cahaya redup menerobos ruang renjana
Sejenak kutengadahkan kepala dan hanya sekilas… maya
Seakan aku kembali terjebak pada senandung rembulan
Sungguh tak pernah lelah bayangmu mengejar ku

TERJAGA

Kembali kuberpijak pada kenyatan
Setelah terjaga dari mimpi panjang
Ternyata masih sama seperti yang dulu
Tanpa sedikit pun rasa terungkap
Pada teriak parau kekejaman masa lalu
Ketika sukma tertusuk perihnya sinar rembulan

Lalu dimana kau sekarang…
Sedikit pun tak kutemui geliat tawamu yang biasa hangatkan malamku
Meski wangimu masih tertinggal di alas tidurku
Tapi aku masih tak mampu temukan bayangmu
Datanglah dan aku akan bercerita tentang mimpi-mimpiku
Mungkin suatu saat nanti kau akan mengingatnya di sisa hidupmu

Hampir kuhabiskan detik demi detik
Tak juga kumampu tuntaskan kata demi kata
Mungkin tak kan sampai padamu yang kini entah dimana
Hingga mulai kuragu pada kesadaraku sendiri
Kini kumulai mencoba mengingat kembali siapa aku
Atau mungkin juga aku masih bermimpi…

Jangan Tanyakan

Pada suram senja,
mentari pun mampu torehkan indah dengan cakrawala
Begitu juga pada beku malam,
Rembulan pun tak pernah lelah damaikan mimpi
Lantas pernahkah tersirat alasan?
Oleh mentari… pun rembulan…?

seperti juga saat ini
Ketika gejolak murka kuasai nurani
Kau mampu sejukkan hari-hari dengan senyum merekah
Melibas batas jurang usia
Runtuhkan pagar pemisah gelora

Tak juga mentari… pun rembulan…
Tak pernah terlintas satu pun alasan
Sebab memang…
Cinta tak membutuhkan alasan

Langkah Baru

Terjebak di antara pekat malam
Seperti kembali menyelami masa lalu
Saat tapakku begitu sunyi menghentak
Meski keras, tak pernah kesunyian meretak

Ingin ku segera memeluk mimpi
Namun perkataan selalu selubungi bayangan
Kau kembali hadir…
Terus melintas dan menyergap seperti déjà vu
Dan aku tak tahu lagi harus berlari kemana
Semua tempat yang ku datangi selalu ukirkan pedih

Semakin lama, jalan ini semakin sempit
Dan sepasang kaki ini juga telah letih
Apa sekarang saatnya berhenti?
Baiklah aku tak kan mungkin sembunyi
Mungkin sekaranglah saatnya ku lepas sepatu
Dan segera mencuci tapak kakiku

Puncak

Kuletakkan segala ngilu di ujung jalanmu
Meski beku tak juga menyingkir dari letih raga
Aku ingin terlelap, meski sejenak
Sekedar melupakan sajak-sajak yang berjejalan di dalam kepala
Namun tak juga membias biru itu

Aku tak tahu…
Apa harus ku toreh merah…
Meskipun darah ini juga ikut membeku
Aku masih tak ingin beranjak
Sebab hanya semburat ini berikan damai

Aku masih ingin mencumbu puncakmu
Meski jiwa rapuhku harus meradang

Lelah 2

Merapatkan beku pada kehangatan tungku
Tak ada harapan mampu kujerang
Sudahkah usai perjalanan melelahkan ini…?
Ketika aku sampai pada ranjang peraduan
Namun kesunyian kembali menyergap
Menghajar lelahku pada pandang maya
Sungguh aku ingin istirahat
Meski kisah lalu belum juga usai

Lelah 1

Sebongkah nestapa kembali bebani perjalanan
Menghajar sukma yang hendak berlari
Tak ada kedengkian yang ingin kunyalakan
Sekedar mencumbui sejuk embun-embun dan geliat ilalang menari

Menghitung Sunyi

Menghitung langkah…
Tak ada jejak yang pernah terukir di sini
Kuharap…

Lelah…
Se-lelah jiwaku lukiskan semburat mentari di telapak kakimu
Selalu halimun merapat pekat pada rapuh asa
Hari ini benar-benar tak ada kata-kata
Ketika sketsa wajahmu kembali menyeruak di antara gumpalan kenangan
Sungguh aku tak pernah rela kehilangan rembulan…

5.6.09

Your Link Here







2.6.09

profile

Penulis blog ini punya nama asli Henry Be-Es...
Hanya seorang manusia biasa yang mencoba mengungkapkan diri, perasaan, keinginan, hasrat, kesedihan dan amarah melalui kata-kata... Mungkin bukan hal yang luar biasa, tapi setidaknya inilah aku yang selalu mencoba dan berusaha untuk menjadi diri sendiri dan menjadi manusia yang hidup dengan memberikan makna bagi orang lain...

Lahir di Demak, Jawa Tengah, 01 Desember 1982
Pernah mengenyam bangku kuliah di Fakultas Sastra, Undip, Jurusan Sastra Indonesia, tapi tidak lulus...Bukan sebuah kebanggaan, tapi bukan pula sebuah penyesalan...

banyak hal yang saya minati... tapi yang paling utama adalah belajar, berpetualang dan fotografi..

Tidak banyak yang bisa saya ceritakan tentang diri saya, karena saya bukan seseorang yang istimewa...

email :
-loopdreamer@gmail.com


telp/whatsapp  :
-08562653833

Vector Attack 4









Vector Attack 3









Vector Attack 2