Dia masih di sana. Masih menari. Entah sejak kapan dan sampai kapan dia akan menari tak ada yang pernah tahu. Sesekali dia berdendang, juga bersajak. Tapi semua itu bukanlah jawaban untuk apa yang dilakukannya. Dia memang cantik. Tapi dia tak pernah tersentuh. Hatinya. Oleh apapun juga siapapun.
Bulan hujan, kekasih...
Aku belum juga terlelap
Ketakutanku akan jawaban
Semakin menuntutku untuk lontarkan tanya
Kau masih juga bersiul
Sementara pisaupisau tajam menghunus kata
Bulan hujan, kekasih...
Aku di sini masih saja memeluk rembulan
Bintangbintang mengutukku
Tapi aku akan tetap di sini
Selalu di sini
Untuk menari...
Lalu dia kembali menari meliukkan seluruh persendiannya, meloncat, berputar, semakin cepat lalu melambat, kembali cepat, melupakan komposisi, dia terus bergerak, terus meliuk, sesekali di iringi dengan erangannya yang mampu menyayat mata langit, sesekali terjatuh juga, lalu kembali menari, hungga fajar tiba dan dia berlari ke sudut taman di antara belukar dan lenyap di telan bumi.
Terik matahari ini semakin lama semakin menyengat di kepala. Aku yang sejak pagi duduk di pinggir taman ini masih malas untuk beranjak. Menyendiri di taman setiap pagi memang sudah menjadi kebiasaanku sejak lama, tepatnya kapan aku sendiri sudah lupa dan enggan untuk mengingatnya. Yang pasti aku selalu dapat menikmati kesendirianku di pinggir taman ini, dengan segelas kopi dan sebuah surat kabar pagi. Tapi pagi ini aku benarbenar enggan untuk beranjak. Padahal hari benarbenar sudah terik dan aku harus segera berangkat ke kantor. Tapi aku tak peduli, anganku sudah terlanjur berlari, entah kemana, aku sendiri tak mengerti.
Aku bertemu dengan seorang perempuan, aku seperti mengenalnya, tapi aku benarbenar tak bisa mengingatnya. Tapi entah bagaimana aku bisa begitu akrab dengannya, bercanda, tertawa, bersajak bersama. Aku dan dia, benarbenar seperti sepasang kekasih, tapi aku tak tahu siapa perempuan itu. Dia memanggilku dengan sebutan yang aneh. Petra... Petra... dia memanggilku Petra... Padahal yang aku tahu dan yang pernah ku baca di KTP, akta kelahiran, ijasahijasahku, dan suratsurat yang lain namaku adalah Burhan Udin, bukan Petra. Tapi entah mengapa panggilan itu benarbenar akrab di telingaku.
Bulan hujan, kekasih…
Dan gemerlap rembulan mampu membius relung pertikaian
Aku akan selalu datang
Membawamu merajut bintangbintang
Bulan hujan, kekasih…
Jangan pernah takut akan matahari
Meski sinarnya tajam menghujam
Kita akan berpayung anyamanyam cirrus
Bulan hujan, kekasih…
Bahkan cericit camar iri akan kisah ini…
Seperti itu, aku benarbenar mengucapkan sajak itu. Padahal aku belum pernah menulis atau pun membaca sajak yang seperti itu. Aku semakin tak bisa mengerti tentang apa yang ku alami. Hingga tibatiba aku dikagetkan oleh suara ponselku dan membuyarkan anganku. Ternyata bos menelponku dan menyuruhku agar segera ke kantor karena banyak sekali pekerjaan menumpuk yang belum ku selesaikan. Aku melangkah meninggalkan taman itu, meninggalkan sesuatu yang benarbenar tak kumengerti di taman itu.
Malam semakin menyelubungi tirai langit. Malam ini benarbenar gelap dan sunyi, sebab awan bulan hujan yang sedari senja menggumpal di langit enggan untuk beranjak. Seperti malammalam sebelumnya, perempuan itu kembali menari, meruntut jejakjejak, dengan beriring gemerisik dedaun dibelai angin, juga siulan hewanhewan malam. Dia menari, sambil bersajak. Sesekali menjerit, mengerang, merintih, menangis, lalu tertawa, bercanda, sesekali dia duduk di kursi taman, berbicara seakan ada seseorang di sampingnya, bercerita seakan ada seseorang yang memeluknya, lalu tibatiba menjerit, tertawa lagi, menangis, kembali bercerita, tak pernah peduli entah ada yang mendengara atau pun tidak. Tapi dia benarbenar seperti berbincang dengan seseorang.
Bulan hujan, kekasih…
Hadirku kini bukan untuk mengutuk sang hari
Hadirku kini hanya untuk melukis wajahmu
Di kanvas langit dengan gemintang dan taburan sinar rembulan…
Bulan hujan, kekasih…
Benarkah kau akan datang
Seperti janji malam kepada siang
Purnama ini seperti saat itu
Kau pasti akan datang
Saat cumulus menyergap butiran bintangbintang
Aku akan menunggu engkau menyalami purnama
Meniup sisasisa rindu
Bulan hujan, kekasih…
Aku akan terus menari menjejaki takdir…
Aku akan terus menari untuk menunggumu…
Lalu dia kembali menari. Kali ini tariannya berbeda, dia menari sambil terus berlarilari mengelilingi taman, menggambarkan kegetiran, kesedihan yang begitu mendalam. Disertai dengan tangis dan sajak, dia terus menari menembus batas ruang, waktu, takdir, mimpi, kenyataan. Dia masih saja menari meski rinai mencoba menghentikannya dengan menghujamkan butirbutir kesedihan di seluruh tubuhnya. Tapi dia tetap menari, menari untuk sebuah penantian, membelai puncakpuncak angan, memapas sudutsudut malam. Dia masih menari membungkam tawa rembulan, terus menari hingga fajar tiba dandia kembali berlari ke sudut taman diantara belukar dan lenyap di telan sunyi.
Aroma tanah basah sisa rinai semalam masih menyergap penciumanku. Langkahku terhenti di sudut taman ini. Aku seperti teringat sesuatu. Sesuatu yang benarbenar pernah kualami. Entah kapan aku sendiri masih bingung, sebab kenangankenangan yang bermunculan seperti rentetan peluru dari senapan mesin seorang serdadu. Begitu cepat, begitu tajam. Aku masih saja terpaku di sudut taman ini, di depan sebuah kursi panjang di bawah temaram lampu. Hingga tibatiba kulihat seseorang duduk di sana. Seorang perempuan bergaun malam putih bersih. Dari guratan wajah yang benarbenar cantik terlihat pancaran kecemasan dan kesedihan yang begitu mendalam. Dia seperti menunggu seseorang. Mungkin kekasihnya. Bibirnya yang sedari tadi terkatup perlahan bergerak.
Bulan hujan. Kekasih…
Temaram rembulan kini enggan bercanda
Sebab dia lelah… sangat lelah…
Memacu bingkaibingkai malam
Mendendang rindu pada garisgaris mimpi
Bulan hujan, kekasih…
Kutunggu kau mengoles jejak
Di sini…
Selalu di sini…
Aku begitu termangu mendengar sajak yang baru saja diucapkan perempuan itu. Aku seperti mengenal sajak itu. Aku seperti pernah mendengarnya bahkan mengucapkannya. Tapi kapan? Dimana? Sesaat kemudian soerang lelaki setengah berlari mendatangi perempuan itu. Di sudut taman, di sebuah kursi dengan lampunya temaram. Aku terperangah tidak percaya… Lelaki itu… Aku… Wajahnya mirip sekali denganku, bahkan tidak ada bedanya. Hanya pakaiannya saja yang membedakan dia denganku. Kemeja putih bersih, jas hitam dan dasi kupukupu. Dia mendatangi perempuan itu lalu memeluknya. “Petra… Kenapa lama sekali…Bulan hujan ini sungguh membawa cemas yang menusuk. Aku tak sanggup menghadapi, Petra… Tetaplah di sini untukku, sampai matahari bosan memberikan kepedihan. Peluklah hatiku, Petra… Sukmaku luruh di pelataran jiwamu…” Perempuan itu menghamburkan tangisnya. Tibatiba aku teringat sesuatu. Beth… ya… pasti namanya Beth… Mereka kemudian duduk bersama di kursi taman itu. “Bulan hujan ini aku harus pergi. Jangan kau cumakan tangismu. Sebab akan kutinggalkan jiwaku untuk selalu memelukmu, Beth… Tunggulah aku di sini. Pada tujuh purnama, saat dentum meriam terbungkam kekalahan. Saat tombak prajurit patah berkalang. Saat laras senapan mampat oleh pengakhiran. Tetaplah di sini, sebab aku akan selalu mendatangimu pada malammalam bulan hujan.” Sesaat mereka berciuman dan lelaki itu pergi meninggalkan taman dengan lampunya temaram dan seorang perempuan di sudutnya.
Aku masih termangu menyaksikan kejadian itu. Sepertinya aku pernah mengalaminya. Sepertinya aku yang mengalaminya, tapi kapan… Aku benarbenar bingung dan tak mengerti. Teman-aku-perampuan-bulan hujan-purnama-Petra-Beth-tapi aku bukan Petra, aku benarbenar bingung, hingga tibatiba pandanganku menjadi gelap. Sekulas aku hanya melihat sekelompok orang membawa tombak, pedang, senapan. Mereka mengejarku, membacokku, menusuk, menembak, dan segalanya benarbenar gelap. Aku tak sadarkan diri.
Perlahan aku membuka mataku. Terang… benarbenar menyilaukan. Aku berada di ruangan yang berbalut kain putih. Aku masih mencoba mengumpulkan segala kesadaranku. Mencoba mengingat apa yang telah kualami. Lagilagi ingatanku tertuju pada sosok perempuan bergaun putih di sudut taman dengan lampunya temaram. Aku hamper beranjak ketika tibatiba seseorang masuk ruangan ini. “Bapak jangan bangun dulu. Lebih baik istirahat dulu karena bapak sudah pingsan selama tiga hari” seorang yang mirip dokter itu mencegahku berdiri. “Apa? Aku pingsan tiga hari?? Bagaimana bisa? Terus dimana ini? Siapa yang membawaku kesini dan bagaimana dengan perempuan itu? Apa dia masih menunggu kekasihnya?” Aku mencoba mencari tah apa yang terjadi. “Sudahlah pak, lebih baik bapak istirahat saja. Tidak perlu memikirkan halhal yang lain. Sekarang bapak di rumah sakit, seseorang menemukan bapak pingsan di taman tiga hari yang lalu. Mungkin bapak mengalami shock atau depresi. Sekarang bapak istirahat saja dan jangan berfikir macammacam. Nanti kalau kondisi tubuh bapak sudah pulih baru boleh pulang.” Apa yang terjadi? Aku pingsan tiga hari, tapi kenapa? Pertanyaanpertanyaan itu benarbenar menyiksa. Tanpa satu pun dapat kutemukan jawabannya. Lebih baik aku menuruti saran dokter itu dan segera kembali pulang.
Bulan hujan, kekasih…
Mengecap harihari
Semakin membawa inginku untuk membasuh wajahmu
Langkahlangkah ini membiru
Membawa titik akhir pada pertikaian
Apa kau masih di sini
Memeluk rembulan dalam redup kabut
Sayu wajah menghias kelam
Mendendang syair pada malammalam bulan hujan
Bulan hujan, kekasih…
Kubunuh raguku untuk berdatang
Menjawab rindu dalam teriak serdadu
Selalu kubawa detikdetik dirimu
Untuk dihenti oleh satunya kita
Anganku masih saja berlari seusai aku mengucap sajak itu. Mendadak aku tergagap ketika kulihat sosok perempuan yang keluar dari balik semak. Perempuan itu begitu anggun dengan balutan gaun malam putih bersih, dengan tariannya yang melenggang mampu membius seisi taman untuk memandangnya, mengaguminya. Mungkinkah dia hantu yang selama ini dibicarakan orang? Aku rasa tidak mungkin. Di jaman yang serba komputer apa masih ada hantu? Jika dia memang hantu, apa mungkin bias secantik dan seanggun ini… Dia masih saja menari, di depanku hingga membuat aku tak mampu bergerak. Sesaat dia berhenti… Memandangku yang masih duduk di sini, lalu kembali menari. Aku jadi tak mengerti. Apa dia tak melihatku atau tak mau memperdulikan kehadiranku di sini.
Bulan hujan, kekasih…
Jejakmu yang dulu kau tinggal
Kini semakin memudar ditelan kabut
Garisgaris mimpi semakin berpendar
Tapi aku masih menari
Menari untuk memapas rindu
Bulan hujan, kekasih…
Aku masih terus menari
Meski laras senapan telah menghentikan detikmu
Sebab masih terus ku yakin
Bahwa pada tujuh purnama bulan hujan kau akan selalu datang
“Beth…!!! Ini aku… aku di sini… Ini aku Petra…!!!” aku mencoba memanggilnya. Tapi dia sama sekali tak bereaksi. Dia masih saja menari di depanku. Kali ini aku menghampirinya mencoba untuk menyentuh dan memeluknya. Tapi dia sama sekali tak tersentuh olehku. Aku semakin kalut dan tak mengerti. “Beth… Ini aku… Petra… Aku sudah datang. Hentikan tarianmu. Hentikan tangismu. Kita sudahi saja sajak bulan hujan ini… Sebab rembulan malam ini merekah. Merah membakar rindu kita. Aku telah datang. Laras itu tak kan mungkin bisa menghentikanku untuk menjawab mimpi kita. Beth… Lihat lah aku… Aku sudah di sini seperti janji malam pada siang.” Aku masih mencoba memanggilnya, memanggil dan memanggil. Tapi dia sama sekali tak mendengarku apa lagi melihatku. Dia masih saja menari, menembus butirbutir rinai. Semakin cepat tariannya menguasai seluruh ruang, seluruh angan. Ku coba mengejarnya, menghentikannya, tapi dia benarbenar tak tersentuh. Sambil merintih ak masih mencoba memanggilnya… Putuslah asa ku kini. Dia benarbenar telah tak tersentuh olehku. Aku hanya mampu memandang tariannya. Aku hanya mampu mendengar deritanya, tapi aku tak mampu menjawabnya, kekasihku…Beth…Masih merintih ku kutuk malammalam bulan hujan. Hingga tibatiba aku dikagetkan oleh suara seorang lakilaki. “Burhan apa yang kau lakukan disana…!!!??? Seperti orang gila saja teriakteriak sambil berlarilari. Apa kau sedang latihan teater…?” Aku tergagap dan tak mampu menjawab seruan itu. Dia adalah Hendra temanku satu kantor. Dia memanggilku dari bibir taman karena melihatku melakukan suatu hal yang aneh. “Hei… Ayo pulang… Malam sudah larut, apa besok kau mau bolos kerja lagi?” Hendra kembali memanggilku. Tapi aku masih bingung. Mencari, mencari Beth yang tadi menari di depanku. Tapi dia sudah tak ada. Telah lenyap di telan sunyi, tanpa berkata apa pun. Aku beranjak meninggalkan taman itu. Aku berfikir, tampaknya aku harus segera menemui psikiater. Dan sejak saat itu aku tak pernah lagi ke taman itu.
Bulan hujan, kekasih…
Telah bungkam teriak itu
Oleh ujungujung tombak
Meredup sudah bintang dan bulan
Tapi aku akan tetap menari
Pada malammalam bulan hujan
Untuk selalu menyambut hadirmu
Merebut mimpi anakanak beringus
Dan perempuan itu masih terus menari pada malammalam bulan hujan di dalam taman dengan lampunya temaram.
Bulan hujan, kekasih...
Aku belum juga terlelap
Ketakutanku akan jawaban
Semakin menuntutku untuk lontarkan tanya
Kau masih juga bersiul
Sementara pisaupisau tajam menghunus kata
Bulan hujan, kekasih...
Aku di sini masih saja memeluk rembulan
Bintangbintang mengutukku
Tapi aku akan tetap di sini
Selalu di sini
Untuk menari...
Lalu dia kembali menari meliukkan seluruh persendiannya, meloncat, berputar, semakin cepat lalu melambat, kembali cepat, melupakan komposisi, dia terus bergerak, terus meliuk, sesekali di iringi dengan erangannya yang mampu menyayat mata langit, sesekali terjatuh juga, lalu kembali menari, hungga fajar tiba dan dia berlari ke sudut taman di antara belukar dan lenyap di telan bumi.
Terik matahari ini semakin lama semakin menyengat di kepala. Aku yang sejak pagi duduk di pinggir taman ini masih malas untuk beranjak. Menyendiri di taman setiap pagi memang sudah menjadi kebiasaanku sejak lama, tepatnya kapan aku sendiri sudah lupa dan enggan untuk mengingatnya. Yang pasti aku selalu dapat menikmati kesendirianku di pinggir taman ini, dengan segelas kopi dan sebuah surat kabar pagi. Tapi pagi ini aku benarbenar enggan untuk beranjak. Padahal hari benarbenar sudah terik dan aku harus segera berangkat ke kantor. Tapi aku tak peduli, anganku sudah terlanjur berlari, entah kemana, aku sendiri tak mengerti.
Aku bertemu dengan seorang perempuan, aku seperti mengenalnya, tapi aku benarbenar tak bisa mengingatnya. Tapi entah bagaimana aku bisa begitu akrab dengannya, bercanda, tertawa, bersajak bersama. Aku dan dia, benarbenar seperti sepasang kekasih, tapi aku tak tahu siapa perempuan itu. Dia memanggilku dengan sebutan yang aneh. Petra... Petra... dia memanggilku Petra... Padahal yang aku tahu dan yang pernah ku baca di KTP, akta kelahiran, ijasahijasahku, dan suratsurat yang lain namaku adalah Burhan Udin, bukan Petra. Tapi entah mengapa panggilan itu benarbenar akrab di telingaku.
Bulan hujan, kekasih…
Dan gemerlap rembulan mampu membius relung pertikaian
Aku akan selalu datang
Membawamu merajut bintangbintang
Bulan hujan, kekasih…
Jangan pernah takut akan matahari
Meski sinarnya tajam menghujam
Kita akan berpayung anyamanyam cirrus
Bulan hujan, kekasih…
Bahkan cericit camar iri akan kisah ini…
Seperti itu, aku benarbenar mengucapkan sajak itu. Padahal aku belum pernah menulis atau pun membaca sajak yang seperti itu. Aku semakin tak bisa mengerti tentang apa yang ku alami. Hingga tibatiba aku dikagetkan oleh suara ponselku dan membuyarkan anganku. Ternyata bos menelponku dan menyuruhku agar segera ke kantor karena banyak sekali pekerjaan menumpuk yang belum ku selesaikan. Aku melangkah meninggalkan taman itu, meninggalkan sesuatu yang benarbenar tak kumengerti di taman itu.
***
Senja kembali merayapi langit. Menghapus jejakjejak matahari yang seharian tadi benarbenar menyengat sekian juta kepala yang sibuk dengan pikiranpikirannya masingmasing, baik pikiran cerdas, cerdik, bodoh, licik, aneh, dan segala macam pikiran yang dimiliki manusia. Langit semakin kelam, sebab bulan hujan mulai mendaki hariharinya. Dan membuat suasana di taman itu menjadi semakin lengang dan suram. Taman itu memang sudah lama di tinggalkan oleh orangorang. Mereka sudah tak pernah lagi kesana. Mungkin karena pengelolaan dari pemerintah yang kurang bagus. Hal ini terlihat dari kebersihannya yang kurang terjaga. Di sanasini banyak tercecer rontokrontok daun kering, kotoran binatang, ceceran sisa alat kontrasepsi bekas di pakai oleh para mudamudi yang di mabuk asmara tapi tak punya uang untuk menyewa kamar hotel, hingga mereka memanfaatkan taman itu yang memang gelap dan sepi. Penghuni taman itu hanyalah pepohonan yang entah sudah berapa ratus tahun usianya, terlihat dari batangbatangnya yang benarbenar besar, bagaikan tubuh raksasa yang siap menerkam siapa saja, beberapa jenis satwa seperti bajing, burung, dan juga seorang perempuan bergaun malam berwarna putih bersih yang setiap malam selalu menari di taman itu.Malam semakin menyelubungi tirai langit. Malam ini benarbenar gelap dan sunyi, sebab awan bulan hujan yang sedari senja menggumpal di langit enggan untuk beranjak. Seperti malammalam sebelumnya, perempuan itu kembali menari, meruntut jejakjejak, dengan beriring gemerisik dedaun dibelai angin, juga siulan hewanhewan malam. Dia menari, sambil bersajak. Sesekali menjerit, mengerang, merintih, menangis, lalu tertawa, bercanda, sesekali dia duduk di kursi taman, berbicara seakan ada seseorang di sampingnya, bercerita seakan ada seseorang yang memeluknya, lalu tibatiba menjerit, tertawa lagi, menangis, kembali bercerita, tak pernah peduli entah ada yang mendengara atau pun tidak. Tapi dia benarbenar seperti berbincang dengan seseorang.
Bulan hujan, kekasih…
Hadirku kini bukan untuk mengutuk sang hari
Hadirku kini hanya untuk melukis wajahmu
Di kanvas langit dengan gemintang dan taburan sinar rembulan…
Bulan hujan, kekasih…
Benarkah kau akan datang
Seperti janji malam kepada siang
Purnama ini seperti saat itu
Kau pasti akan datang
Saat cumulus menyergap butiran bintangbintang
Aku akan menunggu engkau menyalami purnama
Meniup sisasisa rindu
Bulan hujan, kekasih…
Aku akan terus menari menjejaki takdir…
Aku akan terus menari untuk menunggumu…
Lalu dia kembali menari. Kali ini tariannya berbeda, dia menari sambil terus berlarilari mengelilingi taman, menggambarkan kegetiran, kesedihan yang begitu mendalam. Disertai dengan tangis dan sajak, dia terus menari menembus batas ruang, waktu, takdir, mimpi, kenyataan. Dia masih saja menari meski rinai mencoba menghentikannya dengan menghujamkan butirbutir kesedihan di seluruh tubuhnya. Tapi dia tetap menari, menari untuk sebuah penantian, membelai puncakpuncak angan, memapas sudutsudut malam. Dia masih menari membungkam tawa rembulan, terus menari hingga fajar tiba dandia kembali berlari ke sudut taman diantara belukar dan lenyap di telan sunyi.
***
“Hari baru menggeliat kau sudah berangkat. Pagi benar? Ada lembur?” seseorang menyapaku saat aku baru keluar dari rumah kontrakanku. “Sepertinya ada yang ketinggalan di taman kemarin” aku menjawab sekenanya, berharap dia tidak bertanya lagi. Aku memang orangnya cenderung tertutup, jarang berbincang dengan orang lain jika hanya sekedar basabasi. Malas membicarakan hal yang tidak ada gunanya. Aku lebuh suka sendiri, membaca koran sambil mencari peluang bisnis. Aku memang dikenal seorang pekerja keras dan ulet, tapi kurang pandai dalam hal pergaulan. Tapi aku tak pernah memperdulikan hal itu. Orang hidup kan untuk dirinya sendiri. Untuk kebutuhan perutnya sendiri. Apalagi di jaman yang serba bayar ini. Jika aku terlalu sibuk memikirkan orang lain, maka urusanku sendiri jadi terbengkalai. “Kau masih suka menyendiri di sana?” dia bertanya lagi “hatihati lho kata orang di taman itu banyak hantunya. Dan katanya ada hantu seorang perempuan cantik yang suka menangis setiap malam. Hii… ngeri deh…” Kali ini aku benarbenar muak dengan apa yang dikatakannya. Tanpa memperdulikannya aku terus saj keluar menyusuri ruasruas jalan. Pikiranku hanya tertuju pada taman itu. Entah apa aku sendiri tidak mengerti. Seperti ada seseorang yang memanggilku dari sana. Seperti ada kekuatan yang menarikku untuk pergi kesana.Aroma tanah basah sisa rinai semalam masih menyergap penciumanku. Langkahku terhenti di sudut taman ini. Aku seperti teringat sesuatu. Sesuatu yang benarbenar pernah kualami. Entah kapan aku sendiri masih bingung, sebab kenangankenangan yang bermunculan seperti rentetan peluru dari senapan mesin seorang serdadu. Begitu cepat, begitu tajam. Aku masih saja terpaku di sudut taman ini, di depan sebuah kursi panjang di bawah temaram lampu. Hingga tibatiba kulihat seseorang duduk di sana. Seorang perempuan bergaun malam putih bersih. Dari guratan wajah yang benarbenar cantik terlihat pancaran kecemasan dan kesedihan yang begitu mendalam. Dia seperti menunggu seseorang. Mungkin kekasihnya. Bibirnya yang sedari tadi terkatup perlahan bergerak.
Bulan hujan. Kekasih…
Temaram rembulan kini enggan bercanda
Sebab dia lelah… sangat lelah…
Memacu bingkaibingkai malam
Mendendang rindu pada garisgaris mimpi
Bulan hujan, kekasih…
Kutunggu kau mengoles jejak
Di sini…
Selalu di sini…
Aku begitu termangu mendengar sajak yang baru saja diucapkan perempuan itu. Aku seperti mengenal sajak itu. Aku seperti pernah mendengarnya bahkan mengucapkannya. Tapi kapan? Dimana? Sesaat kemudian soerang lelaki setengah berlari mendatangi perempuan itu. Di sudut taman, di sebuah kursi dengan lampunya temaram. Aku terperangah tidak percaya… Lelaki itu… Aku… Wajahnya mirip sekali denganku, bahkan tidak ada bedanya. Hanya pakaiannya saja yang membedakan dia denganku. Kemeja putih bersih, jas hitam dan dasi kupukupu. Dia mendatangi perempuan itu lalu memeluknya. “Petra… Kenapa lama sekali…Bulan hujan ini sungguh membawa cemas yang menusuk. Aku tak sanggup menghadapi, Petra… Tetaplah di sini untukku, sampai matahari bosan memberikan kepedihan. Peluklah hatiku, Petra… Sukmaku luruh di pelataran jiwamu…” Perempuan itu menghamburkan tangisnya. Tibatiba aku teringat sesuatu. Beth… ya… pasti namanya Beth… Mereka kemudian duduk bersama di kursi taman itu. “Bulan hujan ini aku harus pergi. Jangan kau cumakan tangismu. Sebab akan kutinggalkan jiwaku untuk selalu memelukmu, Beth… Tunggulah aku di sini. Pada tujuh purnama, saat dentum meriam terbungkam kekalahan. Saat tombak prajurit patah berkalang. Saat laras senapan mampat oleh pengakhiran. Tetaplah di sini, sebab aku akan selalu mendatangimu pada malammalam bulan hujan.” Sesaat mereka berciuman dan lelaki itu pergi meninggalkan taman dengan lampunya temaram dan seorang perempuan di sudutnya.
Aku masih termangu menyaksikan kejadian itu. Sepertinya aku pernah mengalaminya. Sepertinya aku yang mengalaminya, tapi kapan… Aku benarbenar bingung dan tak mengerti. Teman-aku-perampuan-bulan hujan-purnama-Petra-Beth-tapi aku bukan Petra, aku benarbenar bingung, hingga tibatiba pandanganku menjadi gelap. Sekulas aku hanya melihat sekelompok orang membawa tombak, pedang, senapan. Mereka mengejarku, membacokku, menusuk, menembak, dan segalanya benarbenar gelap. Aku tak sadarkan diri.
Perlahan aku membuka mataku. Terang… benarbenar menyilaukan. Aku berada di ruangan yang berbalut kain putih. Aku masih mencoba mengumpulkan segala kesadaranku. Mencoba mengingat apa yang telah kualami. Lagilagi ingatanku tertuju pada sosok perempuan bergaun putih di sudut taman dengan lampunya temaram. Aku hamper beranjak ketika tibatiba seseorang masuk ruangan ini. “Bapak jangan bangun dulu. Lebih baik istirahat dulu karena bapak sudah pingsan selama tiga hari” seorang yang mirip dokter itu mencegahku berdiri. “Apa? Aku pingsan tiga hari?? Bagaimana bisa? Terus dimana ini? Siapa yang membawaku kesini dan bagaimana dengan perempuan itu? Apa dia masih menunggu kekasihnya?” Aku mencoba mencari tah apa yang terjadi. “Sudahlah pak, lebih baik bapak istirahat saja. Tidak perlu memikirkan halhal yang lain. Sekarang bapak di rumah sakit, seseorang menemukan bapak pingsan di taman tiga hari yang lalu. Mungkin bapak mengalami shock atau depresi. Sekarang bapak istirahat saja dan jangan berfikir macammacam. Nanti kalau kondisi tubuh bapak sudah pulih baru boleh pulang.” Apa yang terjadi? Aku pingsan tiga hari, tapi kenapa? Pertanyaanpertanyaan itu benarbenar menyiksa. Tanpa satu pun dapat kutemukan jawabannya. Lebih baik aku menuruti saran dokter itu dan segera kembali pulang.
***
Senja ini begitu layu. Kelabu langit bulan hujan enggan merangkak. Matahari pun malas teriak. Dan cakrawala masih terlelap. Langkahku gontai meninggalkan kantor yang seharian menguras isi otakku. Segera kembali ke rumah dan merebahkan tubuh adalah impian terbesarku hari ini. Tapi isi kepalaku telah jauh menerawang menembus batas mimpi. Tersesat entah kemana. Langkah masih kupacu, hingga tiba aku di mulut taman ini. Sesaat aku berhenti, memandang kursi di sudut taman yang membeku. Seperti kebekuanku pada diriku sendiri. Aku masih termangu ketika langkahku kembali merayap menuju sudut taman ini. Aku masih malas untuk berfikir mengenai apa yang sedang kulakukan. Ku ikuti saja arah angan dan pandangku.Bulan hujan, kekasih…
Mengecap harihari
Semakin membawa inginku untuk membasuh wajahmu
Langkahlangkah ini membiru
Membawa titik akhir pada pertikaian
Apa kau masih di sini
Memeluk rembulan dalam redup kabut
Sayu wajah menghias kelam
Mendendang syair pada malammalam bulan hujan
Bulan hujan, kekasih…
Kubunuh raguku untuk berdatang
Menjawab rindu dalam teriak serdadu
Selalu kubawa detikdetik dirimu
Untuk dihenti oleh satunya kita
Anganku masih saja berlari seusai aku mengucap sajak itu. Mendadak aku tergagap ketika kulihat sosok perempuan yang keluar dari balik semak. Perempuan itu begitu anggun dengan balutan gaun malam putih bersih, dengan tariannya yang melenggang mampu membius seisi taman untuk memandangnya, mengaguminya. Mungkinkah dia hantu yang selama ini dibicarakan orang? Aku rasa tidak mungkin. Di jaman yang serba komputer apa masih ada hantu? Jika dia memang hantu, apa mungkin bias secantik dan seanggun ini… Dia masih saja menari, di depanku hingga membuat aku tak mampu bergerak. Sesaat dia berhenti… Memandangku yang masih duduk di sini, lalu kembali menari. Aku jadi tak mengerti. Apa dia tak melihatku atau tak mau memperdulikan kehadiranku di sini.
Bulan hujan, kekasih…
Jejakmu yang dulu kau tinggal
Kini semakin memudar ditelan kabut
Garisgaris mimpi semakin berpendar
Tapi aku masih menari
Menari untuk memapas rindu
Bulan hujan, kekasih…
Aku masih terus menari
Meski laras senapan telah menghentikan detikmu
Sebab masih terus ku yakin
Bahwa pada tujuh purnama bulan hujan kau akan selalu datang
“Beth…!!! Ini aku… aku di sini… Ini aku Petra…!!!” aku mencoba memanggilnya. Tapi dia sama sekali tak bereaksi. Dia masih saja menari di depanku. Kali ini aku menghampirinya mencoba untuk menyentuh dan memeluknya. Tapi dia sama sekali tak tersentuh olehku. Aku semakin kalut dan tak mengerti. “Beth… Ini aku… Petra… Aku sudah datang. Hentikan tarianmu. Hentikan tangismu. Kita sudahi saja sajak bulan hujan ini… Sebab rembulan malam ini merekah. Merah membakar rindu kita. Aku telah datang. Laras itu tak kan mungkin bisa menghentikanku untuk menjawab mimpi kita. Beth… Lihat lah aku… Aku sudah di sini seperti janji malam pada siang.” Aku masih mencoba memanggilnya, memanggil dan memanggil. Tapi dia sama sekali tak mendengarku apa lagi melihatku. Dia masih saja menari, menembus butirbutir rinai. Semakin cepat tariannya menguasai seluruh ruang, seluruh angan. Ku coba mengejarnya, menghentikannya, tapi dia benarbenar tak tersentuh. Sambil merintih ak masih mencoba memanggilnya… Putuslah asa ku kini. Dia benarbenar telah tak tersentuh olehku. Aku hanya mampu memandang tariannya. Aku hanya mampu mendengar deritanya, tapi aku tak mampu menjawabnya, kekasihku…Beth…Masih merintih ku kutuk malammalam bulan hujan. Hingga tibatiba aku dikagetkan oleh suara seorang lakilaki. “Burhan apa yang kau lakukan disana…!!!??? Seperti orang gila saja teriakteriak sambil berlarilari. Apa kau sedang latihan teater…?” Aku tergagap dan tak mampu menjawab seruan itu. Dia adalah Hendra temanku satu kantor. Dia memanggilku dari bibir taman karena melihatku melakukan suatu hal yang aneh. “Hei… Ayo pulang… Malam sudah larut, apa besok kau mau bolos kerja lagi?” Hendra kembali memanggilku. Tapi aku masih bingung. Mencari, mencari Beth yang tadi menari di depanku. Tapi dia sudah tak ada. Telah lenyap di telan sunyi, tanpa berkata apa pun. Aku beranjak meninggalkan taman itu. Aku berfikir, tampaknya aku harus segera menemui psikiater. Dan sejak saat itu aku tak pernah lagi ke taman itu.
Bulan hujan, kekasih…
Telah bungkam teriak itu
Oleh ujungujung tombak
Meredup sudah bintang dan bulan
Tapi aku akan tetap menari
Pada malammalam bulan hujan
Untuk selalu menyambut hadirmu
Merebut mimpi anakanak beringus
Dan perempuan itu masih terus menari pada malammalam bulan hujan di dalam taman dengan lampunya temaram.
emmm puanjang bgd gak sempet baca smw mataku gak kuat baca lama2, maap yah tapi okelah untuk sebuah cerpen yg berisi puisi berbobot... Aku suka ....
BalasHapusoke deh gpp.. thanks ya... kapan2 kalo ada waktu silahkan baca2 lagi...
BalasHapus